Kisah Sekolah Disabilitas di Kendari, Bangunannya Terbuat dari Bambu

Muhammad Israjab, telisik indonesia
Sabtu, 07 Maret 2020
0 dilihat
Kisah Sekolah Disabilitas di Kendari, Bangunannya Terbuat dari Bambu
Salahsatu gedung SLB Kusuma Bangsa. Foto : Muhammad Israjab/Telisik

" Kelihatannya kan mereka seperti kurang-kurang (kelainan mental), secara IQ mereka itu kurang. Akhirnya mereka tidak bisa sekolah, jadi ketika mereka digabung dengan yang normal kelihatan sekali mereka diganggu seperti diejek-ejek begitu. Sehingga mereka juga tidak mau sama-sama, berarti harus ada sekolah sendiri untuk mereka, jadi disitulah mulanya 2015 kita buat sekolah semacam in. "

KENDARI,TELISIK.ID – Kali ini tim media telisik.id berkesempatan menyambangi salahsatu Sekolah Luar Biasa (SLB) Kusuma Bangsa, di jalan Jambu Mente, Kelurahan Anggoya, Kecamatan Poasia, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Sekolah ini  gedungnya masih berdinding bambu, meskipun lokasinya berada di tengah kota.

Hanya sedikit saja jalan beraspal yang dilalui oleh tim, setelah itu tim mesti melewati jalan berbatu dan perkebunan warga dengan menggunakan motor. Untuk sampai di SLB Kusuma Bangsa, selain jalan berbatu sekolah itu juga berada di bukit, sehingga untuk menuju ke atas harus berhati-hati karena jalan yang cukup terjal dan berbahaya.

Sesampai di sekolah pukul 11.15 Wita, Sabtu (7/3/2020), tim bertemu Pengelolah SLB Yafsin Yaddi dan Kepala Sekolah Ninis Sudarwati. Kemudian, tim menjelaskan tujuan dari kedatangan tim telisik.id. 

Baca juga: Program Bombana Digital Terkendala Anggaran

Bahwa tim ingin mendapatkan informasi terkait, perjuangan Yafsin dalam membangun sekolah yang awalnya terbuat dari bambu, bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Menyahuti pertanyaan kami, dengan senyum seakan-akan dirinya menyambut baik keinginan dan pertanyaan yang telah kami lontarkan kepada dirinya.

Kemudian, dia mulai mengisahkan awal mula ia tertarik ingin membuka sekolah bagi anak anak yang memiliki kekurangan itu. Yafsin merasa miris melihat anak-anak ini terkesan tidak diterima oleh sekolah umum, melihat anak-anak ini ada kelainan mental.

“Kelihatannya kan mereka seperti kurang-kurang (kelainan mental), secara IQ mereka itu kurang. Akhirnya mereka tidak bisa sekolah, jadi ketika mereka digabung dengan yang normal kelihatan sekali mereka diganggu seperti diejek-ejek begitu. Sehingga mereka juga tidak mau sama-sama, berarti harus ada sekolah sendiri untuk mereka, jadi disitulah mulanya 2015 kita buat sekolah semacam ini,”ungkapnya.

Saat merintis SLB ini Yafsin hanya memiliki sembilan orang siswa. Selain itu, kata Yafsin Yaddi, untuk melakukan proses belajar mengajar terpaksa menumpang di rumah warga di Perumnas Poasia. Banyak tantangan yang harus dia hadapi, mulai dari mengurus izin pendirian, hingga mencari murid yang berkebutuhan khusus, tenaga pengajar (guru), tanah dan bangunan sekolah.

“Yang kita pikirkan anak-anaknya, bagaimana bisa resmi bersekolah bisa mendapatkan ijazah dan bisa melanjutkan pendidikan. Karena sekolah yang kami buat belum dapat ijin terpaksa untuk mengikuti ujian anak-anak ini kami titip di sekolah lain untuk bisa ujian juga, sebab walaupun sudah memiliki sekolah kalau tidak ada ijin dari pemerintah tidak bisa ujian,” ucapnya.

Pria 51 tahun itu menceritakan setelah pengelolah mendapatkan tanah kurang lebih 1 hektare, Yafsin secara bertahap mulai membangun sekolah itu. Karena sulitnya kendaraan untuk mencapai sekolah, sehingga hanya bisa menggunakan bahan-bahan seadanya saja, seperti atap rumbia dan dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

“Ruangan ini kami buat ukuran 15x4 meter dan ada dua tempat belajar lagi ukuran 2x3 meter. Kami dibantu oleh beberapa orang saja dan bahan-bahan yang kita pakai untuk membangun ruang belajar ini, seperti bambu hanya kita ambil dekat sini saja. Yang saya beli hanya atap dan pengikatnya saja,” ucapnya dengan logat Muna.

“Agak rumitlah kalau material berat mau masuk kesini, atapnya saja dipikul untuk sampai, yah jadinya juga sudah seperti ini saja. Karena kalau mau ambil ijin dari pemerintah maka kami harus ada bangunan fisik dulu. Sehingga sejak 2018 gedung yang terbuat dari bambu itu terus digunakan hingga saat ini,” sambungnya.

Masalah tidak hanya sampai disitu saja, anggaran yang terbatas membuat ia harus memeras keringat, apalagi ia harus menggaji tenaga pengajar akibat belum adanya bantuan dari pemerintah. Sehingga gajinya sebagai guru mesti ia sisihkan untuk membantu mereka.

“Jadi kita harus bantu juga anak-anak ini, kita jemput kemudian antar pulang belum lagi perlengkapannya itu kita pakai dana pribadi. Selain itu untuk menggaji guru itu harus kita siapkan juga,” ungkapnya.

Atas dasar keprihatinannya, Yafsin tidak ingin terus membiarkan hal tersebut, karena untuk mengubah sesuatu mesti datang dari kita sendiri. Sehingga dengan adanya sekolah yang ia dirikan bisa memberikan ruang bagi anak-anak ini untuk mendapatkan pendidikan seperti anak normal lainnya.

“Saya juga kalo jemput anak-anak ini biasa pakai motor. Boncengannya bisa sampai empat orang. Yah ini saya lakukan merupakan panggilan jiwa untuk memberikan pendidikan. Karena di sisi lain saya juga kan guru bagi anak yang memiliki keterbelakangan mental,” ungkap Yafsin yang berprofesi sebagai guru. 

Kini SLB yang dirintisnya telah mendapatkan ijin Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud), selain itu sudah bisa mendapatkan dana BOS. SLB Kusuma Bangsa saat ini memiliki kurang lebih 28 murid dan telah berhasil menamatkan siswanya. SLB Kusuma Bangsa juga sudah memiliki 9 guru, meskipun statusnya masih guru honorer.

“Jadi kami juga sudah ada ijin Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud), jadi kami sudah menerima dana BOS. Untuk anggarannya lebih banyak untuk  anak-anak saja, seperti perlengkapan sekolah dan sewa untuk antar jemput. Untuk tenaga pendidiknya kami kesulitan, kami menggaji sebelumnya dari dana BOS itu Rp 300 ribu perbulan. Tapi sudah ada aturan baru katanya dana BOS tidak lagi digunakan dengan hal seperti itu. Hal ini yang membuat kami harus memutar otak supaya tenaga pendidik kami tetap mendapatkan haknya, apa lagi mereka masih honorer,” cemasnya.

 Baca juga: Pelaporan Pengunaan Dana Panwascam Lewat Aplikasi

Saat ini SLB Kusuma Bangsa telah memiliki dua buah gedung permanen yang diberikan oleh banyak donatur. Gedung tersebut digunakan sebagai ruang belajar, kemudian ada juga bantuan kamar mandi bagi anak disabilitas.

Sementara ruangan yang terbuat dari bambu saat ini digunakan untuk kegiatan keterampilan. Seperti  kerajinan menganyam untuk menambah kreatifitas anak. Ada juga rumah singgah bagi anak disabilitas yang hanya terbuat dari papan.

“Saat ini sudah banyak uluran tangan dari para donator yang terus kami terima, contohnya seperti ruangan ini, yang telah terbangun dan digunakan sebagai ruang belajar anak. Untuk bantuan dari pemerintah belum ada seperti bangunan fisik, padahal dari tahun ke tahun selalu kita mengajukan,” ucapnya.

Reporter: Muhammad Israjab
Editor: Sumarlin

Baca Juga