Kupas Politisi: Menyelami Pemikiran dan Perjuangan Ir Hugua
Muhammad Rizky, telisik indonesia
Senin, 05 Desember 2022
0 dilihat
Anggota DPR RI Fraksi PDIP Dapil Sultra, Ir. Hugua berpose bersama istri dan anak. Foto: Ist.
" Hugua mengibaratkan dirinya saat jadi bupati seperti seorang pelatih (coach) sepak bola, bukan seperti top manager yang punya kehendak semaunya mengambil keputusan tanpa mendengar masukan sana-sini "
KENDARI, TELISIK.ID - Tak ada kata putus asa dalam kamus hidup Anggota Komisi II DPR RI, Ir. Hugua. Cobaan demi cobaan yang dirasakan sejak kecil oleh pria kelahiran Tomia, Wakatobi, ini tak menyurutkan niatnya untuk mengejar impiannya.
Ketika berusia 2 tahun, ibunya bernama Wa Miru meninggal dunia. Beruntung, dia lalu memiliki seorang ibu tiri, Wa Ode Mounga, sebagai penjahit pakaian yang sangat baik hati. Hasil jahitan itulah yang pelan-pelan menopang biaya sekolahnya sewaktu di Tomia.
Saat masuk di sekolah dasar, Hugua sempat mengalami perundungan dari teman-teman sekolahnya sebab namanya merupakan kosa kata bahasa Tomia yang berarti tatakan atau lapik.
Meski sempat minder, perundungan itu dia terima sebagai dorongan motivasi sekaligus untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa kelak dirinya akan menjadi orang sukses.
Dan tanda-tanda jadi orang sukses itu sudah tampak sejak kecil oleh karena dia merupakan seorang pelajar berprestasi. Setiap penerimaan buku rapor sekolah, baik SD maupun SMP, dia selalu juara.
Potensi itu kemudian membawanya menempuh sekolah di SMA Negeri 1 Baubau. Sadar bahwa terlahir dari anak orang miskin dan hidup jauh dari orang tua, dia lalu bekerja serabutan demi menyambung hidup di Kota Baubau. Pernah bekerja sebagai kuli dan buruh Pelabuhan Murhum.
Di sini, dia sempat diangkat jadi mandor buruh pelabuhan yang membawahi sekitar 250 buruh. Setelah tamat dari SMA Negeri 1 Baubau, Hugua mendapat beasiswa untuk lanjut studi di Universitas Haluoleo (UHO), jurusan pertanian.
Saat itu dia berusia 18 tahun, ayahnya bernama La Basa meninggal dunia. Di Kendari, dia tetap banting tulang jadi kuli bangunan. Tahun 1983 mengajar di SMA Muhammadiyah sampai wisuda, membuka kursus bahasa Inggris, kursus akuntan, dan segala macam pekerjaan lainnya dia kerjakan.
Meski begitu, masih di tahun 1983, dia juga aktif berorganisasi di HMI. Kemudian terpilih sebagai Ketua HILLSI (Himpunan Lembaga Latihan Swasta Indonesia) dari Depnaker dan Ketua Himpunan Penyelenggara Pendidikan di luar sekolah oleh masyarakat dari Dikbud. Atas prestasi itu, nama Hugua mulai tenar, dikenal oleh banyak orang.
Pengalaman itu membuat koneksi, kematangan emosional, dan cakrawala pemikiran Hugua dengan dunia luar semakin luas. Bahkan sebelum selesai, dia terpilih sebagai peserta Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia selama 6 bulan.
“Saya bersyukur diberi cobaan lebih awal, ibu meninggal 2 tahun itu cukup memberatkan. Kemudian ditinggal ayah pada saat masuk perguruan tinggi itu luar biasa. Kemalangan itulah yang membuat saya harus terjaga lebih awal. Itulah yang membuat saya merasa harus melakukan sesuatu, tertantang. Jadi saya lebih mengerti bagaimana cara hidup sendiri daripada merengek kepada siapapun, termasuk orang tua. Itulah nilai plus yang banyak orang tidak miliki sehingga kematangan demi kematangan gampang kita raih,” jelas Hugua.
Menemukan Gagasan Surgaisme
Kematangan emosional, koneksi luas, dan cakrawala pemikiran yang matang sejak awal membawa Hugua pada kerja-kerja sosial atau dunia LSM. Di dunia LSM, dia benar-benar mengerti tentang realitas kehidupan sehari-hari masyarakat biasa yang sesungguhnya. Ada ketidakadilan struktural yang dialami oleh masyarakat biasa sehingga muncul kegelisahan dalam dirinya.
Baca Juga: 5 Fakta Pembangunan Patung Oputa Yii Koo, Pahlawan Nasional Asal Sulawesi Tenggara
Menurutnya, ada yang harus dikoreksi dari gaya pendekatan dan cara pandang pemerintah kepada masyarakat. Menggunakan cara pandang teknokratis dan berpikir normatif justru akan mengabaikan sisi manusiawi dan enggan mengakomodir kepentingan partisipatif. Artinya, esensi utama melayani masyarakat jadi nomor sekian setelah terpenuhi syahwat kekuasaan dan hal-hal normatif lainnya.
“Saya ingin membuktikan bahwa sebetulnya, dunia Anda pemerintah itu, ada dunia lain yang Anda harus simak. Karena Anda selalu datang dengan cara pandang Anda, dengan kekuasaan Anda, dengan legitimasi negara Anda sehingga melihat rakyat itu dalam kacamata yang lemah, dalam kacamata diperdaya, dalam kacamata harus dilayani,” kata Hugua kepada Telisik.id beberapa hari lalu.
Di dunia LSM pula Hugua menemukan gagasan surgaisme sebagai upaya mendamaikan paham kapitalisme dan sosialisme. Dua paham ekonomi ini, jelas Hugua, sama-sama berasal dari sifat dasar manusia.
Kapital adalah ketamakan (greedy) yang melahirkan sikap berlebihan menumpuk kekayaan dan memenopoli pintu-pintu ekonomi. Di sisi lain, ada cinta (love) sebagai sikap dasar kedua. Sikap inilah yang melahahirkan rasa sosial, komunal dan rasa ikatan sosial yang tinggi. “Jadi gagasan surgaisme itu adalah jalan tengah,” terang Hugua.
Nilai-nilai itulah yang mengantarkan Hugua jadi Bupati Wakatobi selama dua periode, yakni 2006-2016. Dasar Hugua memiliki cakrawala pemikiran luas, nama Wakaboti dibawa ke dunia internasional sehingga dikenal sebagai salah satu tempat pariwisata terbaik di dunia dengan tagline pusat segitiga karang dunia. Untuk itu, hampir semua benua pernah dia datangi.
Kesuksesan Hugua itu lahir karena mampu memaksimalkan fungsi pemerintah daerah dan stakeholder secara harmonis. “Warnanya beda saat saya jadi bupati, program yang kita tawarkan, dan pendekatan yang kita lakukan jauh berbeda, karena saya sadar bahwa saya bukan berkuasa di Wakatobi,” terangnya.
Hugua mengibaratkan dirinya saat jadi bupati seperti seorang pelatih (coach) sepak bola, bukan seperti top manager yang punya kehendak semaunya mengambil keputusan tanpa mendengar masukan sana-sini.
Namun, orang jarang tahu bahwa sebelum jadi Bupati Wakatobi, Hugua melewati 4 fase pengalaman hidup. Sebagai aktifis LSM, kemudian pengusaha (agen travel, usaha dalam pendidikan dan lainnnya), lalu sebagai konsultan community development (pengembangan masyarakat). “Mungkin tidak semua bupati pernah lalui empat dunia itu,” ungkap Hugua.
Pengagum Soekarno
Hugua mengenal dan mengagumi sosok Bung Karno sejak kecil melalui siaran-siaran radio dan potongan-potongan koran. “Kira-kira kelas 3-4-5, saya itu suka pidato berapi-api menirukan gaya Bung Karno. Saya terobsesi dengan Bung Karno. Artinya itu melengket dari kecil,” ujarnya.
Saking kagumnya, memilih jurusan pertanian sewaktu mendaftar kuliah di UHO sebenarnya terinspirasi oleh tokoh idolanya yang juga bergelar insiyur. Bahkan perjalanan dan ideologi Hugua tanpa sadar lekat dengan cita-cita mulia Bung Karno.
“Perjuangan untuk masyarakat, perjuangan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Itu obsesi saya karena ingin berbuat sesuatu menyejahterakan orang,” ungkapnya. Diakuinya bahwa memahami visi besar Bung Karno datang belakangan ketika dia mulai intens bersentuhan dengan berbagai hal.
Dalam hidup keseharian pun, Hugua terpengaruh oleh sosok Bung Karno yang pandai memposisikan diri. Berwibawa saat berhadapan dengan negarawan, di saat bersamaan dirinya mudah beradaptasi ketika berada di tengah-tengah masyarakat. “Soekarno menularkan energi positif. Itulah sosok Bung Karno yang menurut saya belum ada satu tokoh yang menyamainya.”
Obsesi di DPR RI
Ketika resmi dilantik jadi anggota DPR RI, Hugua tak punya pengalaman dalam lembaga legislatif. Yang dia tahu bahwa DPR RI ini adalah instrument negara yang punya tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Hal itu wajar saja mengingat Hugua matang di dunia eksekutif, yakni Bupati Wakatobi dua periode.
Belakangan, dia mulai candu setelah menjalani fungsi-fungsi legislasi dengan baik. Bahkan pengalamannya sewaktu berstatus kepala daerah terasa betul manfaatnya.
“Pengalaman yang saya miliki sangat mempengaruhi eksistensi kita di DPR. Yang kita hadapi adalah menteri, negarawan. Kita mengemban fungsi kontrol, budgeting, kalau pengalaman mereka lebih hebat dari kita, apa gunanya, kita jadi koordinat dari mereka. Tapi kalua kita sudah punya pengalaman akhirnya tiga fungsi itu optimal,” ujar Hugua.
Hugua dikenal vokal di Komisi II DPR RI oleh karena ada obsesi besar yang masih mengganjal pikirannya hingga kini. Orang tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya Hugua sedang memperjuangkan pemekaran beberapa daerah di Sulawesi Tenggara (Sultra).
Sebut saja beberapa di antaranya adalah persiapan pemekaran Provinsi Kepulauan Buton dari Provinsi Sultra, persiapan pemekaran Kota Raha dari Kabupaten Muna, persiapan pemekaran kabupaten Konawe Timur dari Kabupaten Konawe Selatan, persiapan pemekaran Kabupaten Kepulauan Kabaena dari Kabupaten Bombana.
Obsesi kedua yang masih mengganjal pikirannya adalah memperjuangkan kejelasan posisi tenaga honorer dalam penataan sistem negara. Karena itu, terang Hugua, revisi Undang-Undang ASN penting dilakukan. Kemudian, UU Agraria menjadi sorotan Hugua yang dinilainya masih merugikan masyarakat.
“Artinya, obsesi saya yang tidak bisa sendiri barang ini, memang tidak gampang dicapai, tapi kan ini adalah ikhtiar,” ungkap Hugua.
Perihal Pilgub Sultra 2024
Hugua tak menampik dirinya punya semangat untuk mengabdi melalui kursi eksekutif sebab itu adalah passion-nya (hobi). Namun saat ini dia hanya ingin fokus menjalankan tugas sebagai anggota DPR RI sembari berpikir kembali bertarung di pemilu legislatif DPR pada 2024 mendatang. Meski sudah berumur 62 tahun, Hugua masih energik untuk mengemban tugas sebagai seorang negarawan.
Perihal namanya disebut-sebut sebagai calon kuat pada bursa calon pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2024 mendatang, Hugua mengatakan bahwa di PDIP, dirinya hanyalah seorang kader partai. Karenanya, dia akan ikut apa intruksi PDIP.
“Tergantung dari penugasan partai. Kalau saya ditugasi partai untuk legislatif akan saya jalani. Tapi kalau suatu saat partai menugaskan saya di eksekutif itu persoalan lain, nanti kita pikirkan. Jadi kalau partai menugaskan di eksekutif, ya, kita pertimbangkan karena itu passion,” tegasnya.
Sebagai informasi, pemilu serentak akan dilakukan pada 2024 mendatang. Tanggal 14 Februari akan digelar serentak pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu anggota legislatif untuk DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI.
Baca Juga: Mengenal Laksamana Cheng Ho, Sosok Pelaut Muslim dari China yang Mendunia
Sementara tanggal 27 November akan diselenggarakan Pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota suluruh daerah secara serentak di tahun yang sama.
Panduan Memilih Pemimpin
Karena tahun 2024 akan digelar pesta demokrasi secara serentak, Hugua mengingatkan agar masyarakat hati-hati memilih pemimpin sebab hajat hidup semua masyarakat ada di pundak mereka.
“Saya mau bilang ke masyarakat bahwa yang kita pilih adalah negarawan, yang kita pilih adalah pemimpin yang berbeda dengan memilih ketua karang taruna, memilih ketua kabid (kepala bidang), dan lainnya misalkan.”
Negarawan punya impilkasi langsung terhadap hajat hidup masyarakat. Seperti, punya kebijakan mengelola anggaran publik baik berupa APBN dan APBD. Kemudian urusan legitimasi sebagaimana amanah konstitusi untuk menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas.
Hugua menerangkan bahwa seorang negarawan sejati pasti selalu berpikir untuk memajukan harkat dan martabat bangsa dan negaranya. Bukan malah mengutamakan kepentingan pribadi dan kepentingan kekuasaan. Selama ini banyak masyarakat yang kecewa atas hasil pilkada karena tak tepat menilai sosok negarawan.
“Saya betul-betul berharap di pemilu kedepan bukan asal mendukung si A dan si B. Tapi lihat integritasnya, lihat track record (rekam jejak)-nya. Lihat isi kepala, tapi lebih penting lihat isi dadanya, karena tangannya bergerak berdasarkan parameter yang ada di dadanya. Sudah terlalu banyak orang-orang yang kecewa terhadap pemimpin yang keliru karena dia melihat isi kepalanya,” harap Hugua.
Politik adalah Game
Selain soal memilih pemimpin, Hugua juga mengurai isu-isu politik terutama kaitannya dengan politik identitas. Dia mengatakan, dalam sistem pemilihan one man one vote, para kontestan tak salah menggunakan isu apa saja demi menggalang dukungan. Hal tersebut merupakan konsekuensi bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang menerapkan sistem pemilihan one man one vote.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, akibat sistem itu pula ongkos pelaksanaan pemilihan jadi mahal dan lalu masing-masing kontestan mencari suara tanpa melihat etik dan moral. Sementara, secara esensial, landasan moral dan etik ada pada posisi di atas konstitusi, undang-undang, dan peraturan-peraturan lainnya. “Jadi itu sebetulnya adalah jalan tengah jika musyawarah mufakat tidak bisa dicapai,” terang Hugua.
Kata Hugua lagi, keterbelahan dalam politik itu memang sulit dihindari dan hanya bisa dieliminasi dengan memberikan kesadaran kepada publik bahwa politik adalah sarana. Setelah pemilihan selesai, maka kohesi sosial masyarakat harus terbangun kembali.
Celakanya, ketika permainan berjalan, ditabu dengan pertarungan yang keras. Maka banyak rakyat yang memahami bahwa ini adalah sebuah filsafat, ini adalah sebuah harga diri kehidupan, akibatnya berkelahi. Padahal sebetulnya, yang dilantik sudah menjalankan tugas pemerintahan, kita masih berkelahi, kan bodoh namanya.
Inilah edukasi akhirnya, bagaimana mendidik masyarakat bahwa sebetulnya pemilu itu adalah sarana, it is just a game (ini hanya permainan). Dengan memiliki kesadaran itu, maka isu apapun yang dimainkan oleh kontestan pemilu, sekalipun memainkan isu agama, tak akan ada perpecahan di masyarakat. (A)
Penulis: Muhammad Rizky
Editor: M Nasir Idris
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS