Lagi, Masyarakat Lapandewa dan Sampolawa Kembali Ungkit Soal Tapal Batas
Deni Djohan, telisik indonesia
Sabtu, 12 September 2020
0 dilihat
Warga kembali mendatangi wilayah perbatasan. Foto: Ist.
" Jadi, lahan tersebut saat ini masih berstatus quo. Artinya belum ada kejelasan pemilik hak kedua wilayah tersebut. "
BUTON SELATAN, TELISIK.ID - Perseteruan warga Kecamatan Sampolawa dan Lapandewa Buton Selatan (Busel), soal sengketa tapal batas seakan tak ada akhir. Hari ini, Sabtu (12/8/20) kedua warga tersebut kembali bersitegang.
Salah satu tokoh pemuda Sampolawa, Rismanto mengatakan, konflik ini sudah terjadi dari beberapa tahun silam. Pihaknya juga sudah pernah bertemu dengan pemerintah daerah guna menyelesaikan konflik tersebut.
Hanya saja, hingga kini tak ada penanganan serius dari pemerintah. Padahal, tim terpadu penyelesaian sengketa tapal batas Pemda telah terbentuk.
Menurutnya, bila tim terpadu tak mampu menyelesaikan persoalan itu, Pemda diminta untuk segera merampungkan dan mengesahkan dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) Busel. Pasalnya, tapal batas dan batas tegas wilayah diatur dalam dokumen tersebut.
"Jadi, lahan tersebut saat ini masih berstatus quo. Artinya belum ada kejelasan pemilik hak kedua wilayah tersebut," paparnya.
Ia berharap, Pemda Busel segera menyelesaikan persoalan tersebut. Jika tidak, ditakutkan akan ada korban lagi.
"Tim tapal batas saat itu sudah bekerja selama tiga hari. Nah, dari Lande, Lapandewa Kaindea dan Lapandewa Makmur sudah turun untuk dipertemukan. Saat itu difasilitasi langsung oleh Pemda Busel. Hanya saja, persoalan ini tidak lagi diselesaikan oleh Pemda, alasannya juga tidak jelas," ungkapnya.
Tak hanya berkomunikasi dengan tim terpadu, dirinya juga telah berkomunikasi dengan bagian Tapem. Bahkan, ia pernah melayangkan surat resmi menyusul adanya pembangunan rumah warga dikawasan objek sengketa. Namun pihak Tapem (Tata Pemerintahan) enggan merespon seluruh aduan itu.
Baca juga: Tank TNI Tabrak Motor dan Gerobak, Komisi I DPR RI Minta Diusut Tuntas
"Jika merujuk pada titik koordinat masing-masing desa yang diambil saat itu, masyarakat yang Kaindea mengklaim lahan tersebut kawasan mereka. Sementara itu masih berstatus quo. Artinya, harusnya jangan dulu ada pembangunan di situ," bebernya.
Sejak terbentuk sebagai daerah otonom baru di Sultra, Buton Selatan terus mengalami perkembangan. Hanya saja, keterbatasan lahan di masing-masing wilayah menjadi kendala utama untuk melakukan pembangunan.
Apalagi, wilayah Lande merupakan daerah pesisir. Karena itu, ia meminta pemerintah daerah segera menyelesaikan persoalan itu agar masyarakat bisa mendapatkan hunian yang layak.
"Kita juga ini mau membangun. Hanya saja kita mau membangun di atas (wilayah objek sengketa) tidak bisa juga. Sementara kita ini di teluk, tidak bisa membangun ke laut," katanya.
Sementara itu, Kabag Tapem Busel Sekretariat Daerah (Setda) Busel, LM Martosiswoyo, belum menjawab sambungan telepon wartawan ini. Padahal, jawaban Pemda sangat dibutuhkan oleh warga.
Di tempat berbeda, tokoh pemuda Lapandewa, La Masali Lapandewa, mengatakan, yang perlu diketahui saat ini adalah status objek masalah. Apakah penyelesaiannya merujuk pada hukum administrasi atau hukum adat. Sebab diketahui, Desa Gerak Makmur (Lande) merupakan bagian adat Lapandewa saat masih bergabung dalam Kabupaten Buton.
"Jadi yang terpenting itu adalah kehadiran pemerintah. Pemerintah harus hadir dalam persoalan ini. Sebab hal ini merupakan kewenangan daerah," jelasnya.
Ia berharap pemerintah segera menghentikan segala aktivitas yang tengah berlangsung di wilayah objek sengketa.
Reporter: Deni Djohan
Editor: Kardin