Mantan Wabup Buton: Tak Perlu Alergi dengan Pansus DPRD Busel
Deni Djohan, telisik indonesia
Jumat, 03 Juli 2020
0 dilihat
Mantan Wabup Buton, Ali La Opa. Foto: Ist.
" Nah, jalur politis ini tidak mudah apalagi memberikan hak angket. Karena ini melalui musyawarah dalam hal ini badan musyawarah (Bamus). "
BUTON SELATAN, TELISIK.ID - Polemik pembentukan Pansus Hak Angket DPRD Buton Selatan (Busel) terkait penyelidikan kasus dugaan Ijazah palsu milik Bupati Busel, La Ode Arusani, terus bergulir.
Selain datang dari para pakar hukum, kali ini muncul tanggapan dari mantan Wabup Buton, Ali La Opa.
Ali La Opa yang juga praktisi hukum itu menilai, dirinya tak melihat pembentukan Pansus tersebut cacat hukum. Sebab hak angket melekat pada setiap anggota dari tingkatan DPR RI hingga DPRD kota dan kabupaten.
Kata dia, proses cacat hukum seperti yang dimaksud beberapa pakar hukum harus dimaknai secara administratif atau subtantif. Sebab yang tengah bergulir saat ini adalah proses politik.
"Nah, jalur politis ini tidak mudah apalagi memberikan hak angket. Karena ini melalui musyawarah dalam hal ini badan musyawarah (Bamus)," beber mantan pengurus PAN Buton itu belum lama ini.
Ia melanjutkan, untuk mendapat jumlah korum sangat berat. Sebab dalam ketentuannya, pembentukan Pansus akan sah apabila disetujui oleh 3/4 dari jumlah anggota melalui berita acara kehadiran atau dengan kata lain, korum.
"Ketika syarat formalnya sudah terlegitimasi atau sah, maka itu sudah menurut aturan," jelasnya.
Menurutnya, proses administrasi tidak sepenuhnya lewat Sekretariat DPRD. Apalagi angket yang dibentuk di Busel tertuju pada bupati.
Terlebih pegawai Sekretariat DPRD merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) di mana pimpinannya adalah bupati. Sehingga sangat wajar saja Ketua Pansus mengamankan seluruh dokumen yang ada.
Baca juga: DPRD Busel Batalkan Pansus Dugaan Ijazah Palsu Lewat RDP
"Saya acungi jempol teman-teman DPRD Busel yang mengambil keputusan mengamankan seluruh administrasi itu. Tidak ada maladminstrasi sepanjang itu bisa dipertanggung jawabkan," tambahnya.
Sedangkan soal pembatalan Pansus yang dilakukan berdasarkan rapat dengar pendapat (RDP), praktisi hukum ini hanya tertawa. Ia menilai, segala keputusan Paripurna dewan harus dibatalkan melalui Paripurna juga.
Katanya, Pansus bisa batal dengan sendirinya apabila syarat pembentukannya tidak tercapai.
"Jadi kacau itu kalau ada pembatalan Pansus melaui RDP. Struktur berpikirnya kacau itu," ungkapnya.
Ia juga menyayangkan pendapat beberapa pakar hukum lokal yang mengatakan Pansus tersebut tidak sah. Lebih lanjut terangnya, mereka tidak mengetahui bahwa seluruh proses politik di DPRD bersifat politis.
"Mungkin kurang literasi atau pemahaman soal ini. Yang perlu diketahui bahwa, proses politik ini semua politis. Kalau dikatakan bahwa tidak ada undangan itu lebih ngaco. Karena undangan itu sekarang bisa melalui WhatsApp atau media lainnya," tambah Ali.
Persoalan tidak hadirnya Ketua DPRD Busel dalam rapat tersebut bukan suatu masalah krusial, katanya. Sebab DPRD itu menganut sistem kolektif kolegial.
Dalam artian, jika salah satu pimpinan DPRD tidak berada di tempat, maka pemimpin sidang dapat diambil alih oleh pimpinan DPRD lainnya.
"Saya kira, kita tidak perlu risau atau alergi dengan hak angket itu. Biasa saja lah. Pihak yang disoroti dalam hal ini Bupati Busel juga harus gentleman. Dalam artian bahwa, kalau dia merasa Ijazahnya itu asli, hadapi saja itu angket. Nda usah berwacana di luar," pungkasnya.
Reporter: Deni Djohan
Editor: Kardin