Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Simbol Harmonisasi Kebudayaan

Affan Safani Adham, telisik indonesia
Jumat, 19 Juni 2020
0 dilihat
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Simbol Harmonisasi Kebudayaan
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta sarat perjalanan sejarah dengan religiusitas masyarakatnya. Foto: Affan Safani Adham/Telisik

" Tapi kini sudah dibuka kembali meski hanya khusus warga Kauman. "

YOGYAKARTA, TEKISIK.ID - Selama ini, selain sebagai tempat ibadah, Masjid Gedhe Kauman juga merupakan salah satu destinasi wisata. Sehingga selalu ramai dikunjungi wisatawan.

Masjid Gede Kauman dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 29 Mei 1773.

Merupakan simbol harmonisasi sisi kebudayaan khas kerajaan Yogyakarta yang sarat perjalanan sejarah dengan religiusitas masyarakatnya.

Selain sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja dan rakyatnya, masjid ini dibangun sebagai kelengkapan Kerajaan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat.

Secara keseluruhan, penataan dan detail bangunan Masjid Gedhe Kauman ini sangat mencirikan budaya Jawa Islam. Ciri ini tampak dari atap masjid yang menggunakan pola susun tiga gaya tradisional Jawa bernama tajug lambing dan teplok. Pola ini bermakna tiga tahapan pencapaian kesempurnaan hidup manusia, yaitu hakikat, syariat dan makrifat.

Di bagian ujung teratas lapisan atap tersebut terdapat mustaka berbentuk daun kluwih (sejenis buah sukun) bermakna keistimewaan bagi individu yang telah mencapai kesempurnaan hidup. Dan gadha berbentuk huruf alif sebagai perlambang hanya Allah SWT yang satu.

Perpaduan semua simbolisasi tersebut memuat makna bahwa orang yang telah menjalani hakikat, syariat, dan makrifat, hidupnya akan selalu dekat dengan Allah Yang Maha Esa.

Baca juga: Pentingnya Peran Muhasabah dalam Mengobati Jiwa

Masjid yang diprakarsai Sultan HB I bersama Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku Penghulu Keraton ini telah mengalami beberapa kali pengembangan.

Pada 20 Syawal 1189 Hijriah dibangun serambi masjid yang berfungsi sebagai ruang serbaguna.

Selain itu, di sisi utara dan selatan halaman masjid dibangun dua ruang pagongan sebagai tempat memainkan gamelan setiap bulan Maulud diselingi dakwah ulama. Kegiatan yang disebut sekaten ini masih dilestarikan hingga sekarang.

Berikutnya, pada 23 Muharam 1255 H dibangun pintu gerbang yang disebut gapuro. Kata gapuro ini berasal dari kata ghafuro yang berarti ampunan dari dosa. Gerbang berbentuk Semar Tinandu itulah bermakna Semar -- seorang tokoh punakawan dari pewayangan Jawa -- akan mengasuh, menjaga dan memberi suri teladan kepada para raja dan ksatria.

Sarat makna adalah predikat yang rasanya cukup tepat ditahbiskan kepada Masjid Keraton Yogyakarta. Pemaknaan pun tetap menjadi prioritas dalam penyelesaian akhir bangunan, seperti tampak pada ruang salat utama. Ruangan ini berdinding batu alam putih dengan tiang-tiang yang terbuat dari kayu jati. Lantai ruangan terbuat dari marmer yang didatangkan dari Italia. Sama sekali tidak terdapat sapuan cat di ruangan ini, menandakan bahwa setiap orang yang hendak beribadah harus dalam kondisi suci.

Menurut para ahli, tiang-tiang tersebut menggunakan kayu jati Jawa yang digunakan secara utuh tanpa sambungan dan telah berusia antara 400 sampai 500 tahun.

Ada hal unik lainnya di ruang salat utama ini. Selain mihrab dan mimbar, terdapat maksura yakni sebuah ruangan kecil di shaf terdepan yang merupakan tempat khusus bagi Sultan dan keluarganya dalam melaksanakan ibadah.

Jika ditelisik lebih dalam akan terlihat bahwa tidak satupun ruang dan ornamen di masjid ini yang tanpa makna.

Profil buah labu -- dalam bahasa Jawa disebut waluh -- di setiap pilar pagar pun memiliki makna pengingat kepada Allah SWT yang dalam bahasa Arab disebut Wallahi.

Baca juga: Jadi Sorotan Dunia, Prajurit TNI Hadang Tank Israel

Tak hanya menyejukkan dahaga kebudayaan. Suasana masjid juga terasa sejuk dengan adanya blumbang, yakni kolam yang mengelilingi serambinya. Kolam ini dialiri air jernih untuk membersihkan kaki sebelum memasuki masjid.

Kebesaran makna filosofis dan sejarah panjang masjid ini akan membuat siapapun yang menjelajahinya merasa melewati sebuah mesin waktu kebudayaan Jawa yang sarat pemaknaan.

?Mengantisipasi merebaknya pandemi COVID-19, Takmir Masjid Gedhe Kauman juga menghentikan seluruh kegiatan ibadah di masjid milik Keraton Yogyakarta tersebut. Hal ini sesuai dengan keinginan Sri Sultan? Hamengku Buwono X.

Ketua Takmir Masjid Gedhe Kauman, Ir Azman Latif, menjelaskan, keputusan menghentikan sementara seluruh kegiatan ibadah di Masjid Gedhe selaras dengan apa yang disampaikan Gubernur Daerah Istinewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, terkait dengan status tanggap darurat COVID-19 untuk seluruh wilayah DIY.

"Tapi kini sudah dibuka kembali meski hanya khusus warga Kauman," kata Azman Latif, Jumat (19/6/2020).

Beberapa kegiatan peribadatan di Masjid Gedhe Kauman sempat ditiadakan, di antaranya salat berjamaah lima waktu, pengajian rutin, dan ibadah salat Jum'at.

Adzan pun tetap dikumandangkan sebagai tanda masuknya waktu salat dan ditambah seruan "shollu fi buyutikum" supaya salat masing-masing di rumah saja. "Tapi tentu tidak ada iqamah," tambah Azman, yang menerangkan kini Masjid Gedhe Kauman kembali normal.

Baca juga: Sembilan Sektor Ekonomi Dibuka, Utamakan Aspek Kesehatan

Kebijakan yang diambil Takmir Masjid Gedhe Kauman itu bisa diterima dengan besar hati oleh para jemaah. "Karena persebaran COVID-19 eskalasinya semakin naik dan banyak masyarakat yang sudah terpapar," kata Azman.

Mau tidak mau, kata Azman Latif, penularan harus dicegah dengan menghindari berkumpulnya orang-orang. "Salah satunya jemaah salat," tandasnya.

Kendati warga Kauman dipersilakan mengikuti salat Jumat berjemaah, mereka tetap diwajibkan menaati protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak serta datang awal waktu. "Karena pintu ditutup saat mulai adzan," terang Azman.

Ia mengatakan, saat salat Jumat, kapasitas masjid dengan pengaturan jaga jarak dapat menampung sekitar 600 jemaah. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding sebelum wabah penyakit menular yang bisa mencapai 3.000 jemaah.

Menurutnya, ada 20 orang pengurus masjid yang melakukan pemeriksaan dan pengawasan. "Termasuk memastikan mereka merupakan warga Kauman atau sekitar masjid," tandasnya.

Para jemaah, kata Azman Latif, diwajibkan melakukan pengukuran suhu tubuh melalui satu pintu yang disiapkan untuk memasuki Masjid Gedhe.

Reporter: Affan Safani Adham

Editor: Haerani Hambali

Baca Juga