Mengintip Aktivitas Pedagang Kakao Berburu Hasil Bumi Petani di Kolaka Utara

Muh. Risal H, telisik indonesia
Senin, 19 April 2021
0 dilihat
Mengintip Aktivitas Pedagang Kakao Berburu Hasil Bumi Petani di Kolaka Utara
Lapak H. Yasri, pedagang kakao di Kecamatan Ngapa. Foto: Muh. Risal/Telisik

" Jadi usah ini kami lakukan sebagai salah satu cara untuk memudahkan petani, agar mereka tidak jauh lagi membawa hasil pertanian mereka ke keluar. Sehingga mereka ke kampung tinggal langsung ke pasar membeli kebutuhan pokok. "

KOLAKA UTARA, TELISIK.ID - Dari 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Kolaka Utara (Kolut), Kecamatan Ngapa merupakan salah satu daerah yang saat ini penyuplai terbesar biji kakao kering non fermentasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kolut, produksi kakao Kecamatan Ngapa tahun 2017 mencapai 11525,70 ton, 2018 mencapai 12724,46 ton, 2019 mencapai 17810,30 ton, sementara 2020 mencapai 17810,30 ton.

Tingginya produksi biji kakao kering di kecamatan tersebut, menyebabkan menjamurnya pedagang (tengkulak) kakao dan hasil bumi lainnya.

Jika dulu para pedagang hanya menunggu petani membawa hasil pertaniannya ke rumah pedagang, kini mereka harus turun langsung ke lapangan mengunjungi petani.

Selain itu, para pedagang juga biasanya membuat lapak-lapak tempat jual beli hasil bumi di tepi jalan perlintasan para petani, yang hendak membawa komoditi pertanian mereka menuju ibu kota kecamatan untuk dijual.

 

Sarifuddin, salah satu pedagang hasil bumi di Kecamatan Ngapa. Foto: Muh. Risal/Telisik

 

Berdasarkan pantauan Telisik.id, lapak-lapak milik pedagang tersebut dibuat di tepi jalan utama yang menghubungkan tiga desa tepatnya terletak di daerah pegunungan menuju ibu kota kecamatan yakni Kelurahan Lapai.

Menurut informasi yang dihimpun, tiga desa tersebut yakni Desa Parutellang, Watumotaha, dan Ninbuneha sebagai penghasil kakao terbesar di Kecamatan Ngapa.

Selain menunggu komoditi petani, salah satu cara pedagang menarik simpati para petani yakni dengan memberikan bantuan pinjaman uang kepada mereka sebelum panen.

Dengan begitu, para petani yang telah lebih dulu mengambil pinjaman enggan berpaling ke pedagang lain setelah panen.

Baca juga: Demi Pekerjaan, Pria Asal Sulsel Jalani Puasa di Tanah Rantau NTT

H. Yasri, salah seorang pedagang yang telah menggeluti usaha jual beli hasil bumi sejak 20 tahun lalu mengatakan, setiap hari ia bersama sekitar 10 pedagang lainnya yang meletakkan lapaknya menunggu para petani yang melintas membawa hasil pertanian baik itu cabai, lada, gula merah, jahe, dan kakao.

"Jadi usah ini kami lakukan sebagai salah satu cara untuk memudahkan petani, agar mereka tidak jauh lagi membawa hasil pertanian mereka ke keluar. Sehingga mereka ke kampung tinggal langsung ke pasar membeli kebutuhan pokok," terangnya, Minggu (18/4/2021).

Walaupun jumlah pedagang banyak, H. Yasri tidak merasa takut tersaingi oleh pedagang lainnya.

"Di sini banyak pedagang pak, bahkan di atas lapak saya masih ada enam orang pedagang, belum lagi yang berdomisili di gunung. Alhamdulillah reski sudah diatur oleh Allah," pungkasnya.

Lebih lanjut, Yasri menjelaskan, saat musim kakao tiba pendapatan para pedagang meningkat bahkan ia bisa mendapatkan kakao kering non fermentasi sebayak 5 ton per hari.

Sementara di luar musim, ia hanya bisa memperoleh kakao kering dari petani sekitar 400 sampai 500 kilogram per hari.

"Sekarang harga kakao kering Rp. 27.500 per kilogram, ini harga tembak," terangnya.

Dari hasil kakao di kecamatan Ngapa, khususnya di tiga desa tersebut, selama setahun ia mampu mengirim ratusan ton biji kakao kering ke Makassar menggunakan mobil truk miliknya.

"Saya tidak tahu jumlah pastinya, yang jelas setiap berangkat mobil saya mampu memuat 20 ton lebih kakao kering. Dalam setahun saya dapat mengirim kakao kering ke bos di Makassar sebanyak 20 kali (20 truk), jadi kalau dikalkulasi itu ratusan ton per tahun," jelasnya.

Baca juga: Akan Jadi Lumbung Ketahanan Pangan Nasional, Bendungan Raksasa Pelosika Segera Dibangun

Saat ini, ia melanjutkan, penghasil kakao terbanyak di Marboko, Desa Watumotaha, selanjutnya Ninbuneha dan Parutellang. Merosotnya hasil kakao di dua desa tersebut diakibatkan usia kakao yang terbilang tua, sementara di Marboko semuanya coklat baru dengan usia 5 tahun.

Selain kakao, H. Yasri juga membeli hasil bumi lainnya, seperti cabai rawit, lada (merica), gula aren (gula merah), jahe, dan minyak atsiri (minyak nilam).

Untuk cabai rawit, dibeli dari petani dengan harga Rp 30.000 per kilogram, kemudian ia jual kembali ke Masamba, Makassar, atau Kendari dengan harga Rp 33.000 per kilogram.

"Kalau cabai rawit kita beli pagi hari kemudian sore sudah dikirim ke Masamba, Makassar, atau Kendari. Jadi pagi kita sudah ditelepon bos untuk informasi harga," bebernya.

Hal serupa disampaikan Sarifuddin yang juga pedagang hasil bumi, yang sering mangkal di tepi jalan Desa Watumotaha.

Lelaki yang dulunya berprofesi sebagai petani, kini sejak satu tahun lalu memilih untuk berdagang hasil bumi.

Dalam sehari, Ia bisa menghabiskan uang Rp 20 juta untuk membeli semua jenis komoditi petani.

Ia mengaku membeli hasil panen petani berupa cabai rawit petani dengan harga Rp 35.000 per kg, cabai indofood Rp 50.000 per kg, jahe putih Rp 20.000 kg, dan kakao seharga Rp 28.000 per kg.

"Untuk cabai setiap hari saya bisa dapat 200 kg, sementara kakao diluar musim 400 sampai 500 kg dan jika musimnya tiba bisa mencapai 1 ton perhari. Semua hasil kebun tersebut diperoleh dari petani di Desa Watumotaha, Ninbuneha, dan kadang juga dari Parutellang," bebernya. (B)

Reporter: Muh. Risal

Editor: Fitrah Nugraha

TAG:
Baca Juga