Peti Mayat Berusia 400 Tahun Asal Kolaka Utara Masih Tersimpan Utuh di Museum Sulawesi Tenggara

Muh. Risal H, telisik indonesia
Minggu, 30 Juli 2023
0 dilihat
Peti Mayat Berusia 400 Tahun Asal Kolaka Utara Masih Tersimpan Utuh di Museum Sulawesi Tenggara
Sorongan/duni peti mayat berusia lebih dari 400 tahun asal Desa Lelewawo, Kecamatan Batu Putih yang tersimpan di ruang arkeologi UPTD Museum Taman Budaya Sulawesi Tenggara. Foto: Muh Risal H/Telisik

" Praktik pemakaman orang-orang Tolaki khususnya etnis Tolaki dengan dialeg Kodeoha di masa pra-Islam, ternyata sangat berbeda dengan tata cara pemakaman di masa sekarang "

KOLAKA UTARA, TELISIK.ID - Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya di setiap daerahnya. Keanekaragaman kebudayaan ini berupa bahasa, upacara, kesenian, adat istiadat, dan tradisi pemakaman.

Tradisi pemakaman pada dasarnya merupakan wujud penghormatan terhadap para leluhur yang telah mendahului. Berbagai macam tradisi pemakaman pun tercipta untuk mewujudkan hal itu.

Tak terkecuali bagi etnis Tolaki Kodeoha (Patowonua), Mekongga, dan Konawe, yang telah mendiami daratan Kabupaten Kolaka Utara sejak masa pra aksara.

Di masa sekarang, prosesi pemakaman masyarakat Tolaki Patowonua, Mekongga, Konawe di Kolaka Utara, sudah menggunakan tata cara pemakaman menurut agama Islam.

Namun, pernahkah kita berpikir, seperti apa ritual pemakaman orang Tolaki pada zaman neolitikum pra-Islam (prasejarah) atau sebelum agama Islam berkembang di Sulawesi Tenggara khususnya di Kolaka Utara?

Praktik pemakaman orang-orang Tolaki khususnya etnis Tolaki dengan dialeg Kodeoha di masa pra-Islam, ternyata sangat berbeda dengan tata cara pemakaman di masa sekarang.

Seperti yang dijelaskan Sekertaris Dinas Sosial yang juga turunan Mokole Kodeoha, Hasrianda, pada zaman neolitikum atau prasejarah. Ketika leluhur kita (Tolaki) meninggal dunia, maka jenazah mereka akan dimasukkan dalam peti mati yang disebut Soronga (dialeg Konawe) atau Duni (dialeg Mekongga).

Semakin tinggi strata sosial yang meninggal. Misal, mokole (raja) atau kerabat mokole (anakia) semakin antik/bagus pula motif sorongan atau duni yang digunakan. Tidak hanya motif, tempat penyimpanan peti mayat juga berdasarkan strata sosial yang meninggal.

Baca Juga: Bak Tak Bertuan, Museum Sulawesi Tenggara Menuju Usia Senja

"Bagi kalangan bangsawan (mokole/anakia) biasanya peti mayat mereka ditempatkan di goa atau ceruk batu yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya," terangnya, Minggu (30/7/2023).

Hal ini terbukti, dengan ditemukannya berbagai situs goa (kumapo) di Kabupaten Kolaka Utara yang berisi puluhan bahkan ratusan tengkorak manusia. Salah satunya, situs goa tengkorak Lawolatu di Kecamatan Ngapa yang kini terdaftar sebagai situs cagar budaya.

Meski muncul berbagai spekulasi. Namun, diduga kuat tempat itu dulunya merupakan lokasi pemakaman leluhur suku Tolaki sebelum mereka memeluk agama Islam.

Penemuan soronga/duni berusia ratusan oleh tim survey UPTD Museum Sulawesi Tenggara pada tahun 90-an di goa Tanggalasi (Tagalasi) Desa Lelewawo, Kecamatan Batu Putih, juga membuktikan tradisi pemakaman suku Tolaki pada zaman neolitikum yang menggunakan soronga/duni.

"Soronga dan Tagalasi, dua istilah beda arti. Soronga/Duni bermakna peti mati yang dipakai oleh leluhur kita pada zaman neolitikum atau jaman prasejarah ketika meninggal diletakkan dalam Soronga," jelasnya.

"Sementara kumapo (goa) Tagalasi menunjukkan tempat penyimpanan Soronga/Duni. Konon, kumapo Tagalasi ini tempatnya di ketinggian sehingga jarang manusia berkunjung kecuali waktu-waktu tertentu. Antara lain, ketika terjadi kematian orang penting," lanjut Hasrianda.

Kepala UPTD Museum Taman Budaya Sulawesi Tenggar,a La Udin saat ditemui beberapa waktu lalu menuturkan, keberadaan sorongo/duni berusia ratusan tahun di Goa Tanggalasi pertama kali diketahui UPTD Museum Sulawesi Tenggara pada tahun 1981.

Setelah itu dibentuk tim survei dan diterjungkan ke lapangan (Goa Tanggalasi) untuk memastikan keberadaan dan meneliti lebih lanjut nilai historis benda tersebut.

"Setelah diteliti, soronga ini betul digunakan masyarakat Tolaki saat itu sebagai tempat penyimpangan mayat ketika keluarga mereka meninggal. Mayatnya dimasukkan dalam sorongan itu, kemudian dimasukan dalam goa atau kumapo," urainya.

Benda sejarah peti mayat yang bahan bakunya terbuat dari kayu besi itu kemudian diserahkan pemerintah setempat yang masih dibawa kekuasaan Kabupaten Kolaka, ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Tenggara dengan berita acara.

"Benda sejarah Soronga itu, hingga saat ini masih terpelihara dengan baik," ujarnya.

Sorongan itu tiba di Museum Sulawesi Tenggara dalam kondisi yang masih lengkap (utuh) di dalamnya masih ada tikar dan tulang tengkorak pemilik soronga. Asumsi kita yang dipetikan ini adalah seorang bangsawan.

"Ada dua soronga yang diserahkan pemerintah setempat waktu itu, termasuk soronga kecil untuk bayi yang juga masih tersimpan baik di museum," terangnya.

Pantauan penulis, soronga yang diduga usianya sudah mencapai lebih dari 400 tahun ini, tersimpan di dalam ruangan arkeologi UPTD Museum Taman Budaya Sulawesi Tenggara. Soronga itu diletakkan di dalam sebuah wadah kaca persegi empat.

Baca Juga: Pemda Konawe Rancang Pembangungan Museum, Benda Sejarah Diambil dari Belanda

Selain sorongan tanggalasi, di dalam wadah kaca juga diletakkan soronga berukuran kecil dan tempayang (guci). Selain tiga benda itu, di dalam wadah kaca terdapat tengkorak kepala dan tulang paha manusia.

Informasi yang dihimpun dari pengelola museum, soronga (peti mayat) yang ditemukan di Desa Lelewawo, Kecamatan Batu Putih memiliki tinggi 75 cm, panjang 450 cm dan berdiameter 51 cm berbentuk empat persegi. Pada bagian badan terdapat ragam hias bentuk tumpal, spiral, belah ketupat, dan geometris.

Bagian penutup masing-masing diakhiri dengan bentuk makara, berfungsi sebagai salah satu kelengkapan upacara bagi kalangan atas.

Sorongan adalah wadah kuburan yang dibuat dari batang kayu yang dipahat. Terdiri wadah dan tutup wadah kuburan ini lazim digunakan pada akhir-akhir masa prasejarah

Menurut Astar warga Kecamatan Ngapa, soronga/duni itu, milik seorang mokole yang juga panglima Tamalaki di Wonua Patowonua saat itu. Peti mayat tersebut, diangkut dari Desa Lelewawo ke ibu kota Kolaka. Waktu itu, menggunakan ketinting (sejenis kapal kayu) yang menjadi mode transportasi andalan warga Kolaka/Kolaka Utara era tahun 80-an.

"Kata nenek saya dan juga masyarakat Desa Lelewawo. Saat peti mayat tersebut diangkut menuju Kolaka, tiba-tiba cuaca buruk datang. Petir, hujan, dan angin kencang terjadi di Lelewawo. Gelombang tinggi juga menghantam ketinting yang mengangkut peti mayat tersebut. Ini pertanda kalau peti itu milik seorang mokole (raja) sifatnya sakral dan enggang meninggal tempatnya," kenangnya. (A)

Penulis: Muh Risal H

Editor: Haerani Hambali

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS 

Baca Juga