Warga Desa di Kolut Kehilangan Mata Pencaharian Akibat Masuknya Perusahaan Tambang

Kardin, telisik indonesia
Senin, 16 Agustus 2021
0 dilihat
Warga Desa di Kolut Kehilangan Mata Pencaharian Akibat Masuknya Perusahaan Tambang
Nampak jalan Desa Sulaho di Kabupaten Kolaka Utara yang berlumpur akibat sering dilalui kendaraan perusahaan tambang. Foto: Kepala Dusun IV, Desa Pulaho, Abdullah. Foto: Ist.

" Warga Desa Sulaho kini dilanda kebingungan. Sejak masuknya perusahaan tambang beberapa waktu terakhir di desa mereka, mata pencarian pun hilang. "

KOLAKA UTARA, TELISIK.ID - Desa Sulaho, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara (Kolut), terletak di pesisir pantai, berhadapan langsung dengan Teluk Bone. Letaknya tak jauh dari ibu kota.

Dahulu, mata pencarian utama warganya adalah nelayan tangkap dan petani kopra. Namun, hal itu tinggal cerita yang kini berubah menjadi derita.

Warga Desa Sulaho kini dilanda kebingungan. Sejak masuknya perusahaan tambang beberapa waktu terakhir di desa mereka, mata pencarian pun hilang.

Pantai yang dulunya bersih dan biru, kini berubah menjadi merah akibat dicemari lumpur yang bersumber dari aktivitas perusahaan pertambangan, salah satunya dari PT Riota Jaya Lestari (RJL).

Kepala Dusun IV Desa Sulaho, Abdullah mengatakan, keadaan menjadi semakin memburuk semenjak adanya perusahaan pertambangan, termasuk PT RJL beroperasi yang di desanya.

"Selama ada perusahaan ini keadaan semakin buruk. Masih jauh lebih baik sebelum ada PT Riota. Lebih enak perasaan. Karena sekarang ini ada masalah debu kalau panas, kalau hujan jalanan rusak penuh lumpur. Perusahaan juga tidak mau perbaiki jalanan. Kemarin itu perbaiki jalan karena mau datang saja anggota DPRD provinsi," beber Abdullah, baru-baru ini.

Selain permasalahan pencemaran lingkungan, masalah lain adalah rusaknya sarana air bersih milik masyarakat desa yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan.

Baca juga: Resmikan Sekretariat Satgas COVID-19, Ini Pesan Bupati Buton Utara

"Sekarang air juga tidak jalan sudah seminggu karena pipa pecah diinjak mobil-mobilnya perusahaan. Padahal dulu perusahaan sudah bikin perjanjian mau perbaiki jalan itu secara gotong royong. Kami ini masyarakat juga punya malu Pak, kalau misalnya setiap hari masalah ini terus yang mau 'digonggong'. Mereka perusahaan yang tidak mau mengerti," ujarnya.

Mata pencarian masyarakat sebagai nelayan juga menjadi hal lain yang terdampak dari aktivitas PT RJL.

"Untuk nelayan juga parah, karena nelayan sekarang mengeluh karena susah dapat ikan. Sebelum ada tambang dulu cuma sebentar kami keluar melaut tidak perlu jauh sudah dapat ikan lumayan. Kalau sekarang keluar jauh pun susah dapat. Kalau habis hujan ini, itu air laut jadi merah sampai 1 kilometer ke luar," lanjutnya.

Abdullah menyesalkan tidak adanya perhatian dan tanggung jawab perusahaan. Soal rekrutmen karyawan pun, perusahaan menganak-tirikan warga desa setempat.

"Kalau perhatian perusahaan di sini nihil. Kurang sekali perhatiannya di sini. Kalau misalnya perekrutan karyawan, ambil sepuluh dari luar, cuma satu warga sini. Ini baru dua warga desa sini yang direkrut jadi karyawan, padahal banyak sekali warga desa yang membutuhkan pekerjaan dan mau menjadi karyawan. Kalau dia (perusahaan) bilang memperhatikan masyarakat, bohong itu. Cerita ji," tegasnya.

Terkait pembagian royalti dari perusahaan, Abdullah menilai besaran cuan yang berikan PT RJL tidak adil jika dibandingkan dengan apa yang perusahaan telah keruk dari desa mereka.

"Untuk royalti per bulan hanya Rp 35 juta untuk 66 kepala keluarga. Jadi per kepala keluarga hanya sekitar Rp 500 ribu per bulan," bebernya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Sultra, Sudirman, turun ke Desa Sulaho untuk mengecek kebenaran informasi terkait aktivitas PT RJL.

Baca juga: Menengok Latihan Paskibraka Buteng Jelang Hari Kemerdekaan RI

Bersama ketua komisinya, Suwandi Andi dari Partai Amanat Nasional dan koleganya Yudianto Mahardika dari Partai Gerindra, Sudirman menyerap aspirasi masyarakat desa, termasuk mereka yang berprofesi sebagai nelayan serta legalitas PT RJL.

"Kemarin kami ke lokasi, tujuan pertama itu terkait dugaan pengerusakan makam leluhur masyarakat. Kedua terkait masalah legalitas perusahaan yang mana kami ke lokasi melihat terminal khusus (tersus) tempat perusahaan beroperasi itu dalam wilayah tangkap nelayan. Kami pertanyakan legalitas tersusnya dengan alasan mereka tidak bawa," kata Sudirman, Senin (16/8/2021).

Politikus PKS itu menyebut, ada kejanggalan terkait operasional PT RJL, meskipun mengklaim punya izin dari Kementerian Perhubungan.

"Tapi kami akan pertanyakan dari Dinas Lingkungan Hidup terkait Amdalnya (analisis mengenai dampak lingkungan). Kenapa bisa keluar rekomendasi Amdal sementara di lokasi itu masih banyak nelayan beroperasi," imbuhnya.

Secara kelembagaan, Sudirman sudah minta sekretariat dewan untuk mengundang kembali semua stakeholder, termasuk dari Dinas Pertambangan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Perhubungan untuk menggelar rapat dengar pendapat terkait PT RJL ini.

"Termasuk dari Dinas Kehutanan karena di wilayah PT Riota itu ada bukaan lahan yang masuk dalam kawasan konversi hutan. Kami belum yakin bahwa jetty (tersus) PT Riota itu memiliki izin. Saya cek di website Kemenhub, di wilayah Kolaka Utara itu belum ada izin tersus untuk PT Riota, yang ada PT Riota itu di Marombo Konawe Utara," timpalnya.

Sementara itu, Direktur PT RJL, Haji Amir, enggan berkomentar banyak, termasuk terkait dengan masalah perizinan perusahaannya.

"Untuk masalah legalitas itu kan ada pihak terkait. Ada Dinas Lingkungan Hidup, ada dari Kehutanan, Perhubungan, ada ESDM. Saya kira dia yang berhak menjelaskan. Nanti kalau saya yang menjelaskan disangka sepihak," ucap Amir. (A)

Reporter: Kardin

Editor: Fitrah Nugraha

Artikel Terkait
Baca Juga