5 Makanan Seafood Mentah Khas Wakatobi, Tak Kalah Enak dari Sashimi dan Sushi
Putri Wulandari, telisik indonesia
Selasa, 18 Mei 2021
0 dilihat
Fusese/anggur laut, salah satu makanan mentah khas Wakatobi. Foto: Putri/Telisik
" Ciri khas dari makanan ini menggunakan ikan dan bahan laut mentah "
WAKATOBI, TELISIK.ID - Kuliner mentah sudah familiar di lidah masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena kian maraknya restorang yang menyajikan sashimi dan sushi, makanan khas Jepang.
Ciri khas dari makanan ini menggunakan ikan dan bahan laut mentah. Tapi tahu kah Anda, di Wakatobi memakan makanan mentah bukanlah hal yang baru.Selain kondisi geografis yang 70% merupakan pulau-pulau karang, Wakatobi juga merupakan wilayah yang kaya akan spesies ikan dan biota laut lainnya.
Nah, berikut kuliner mentah yang ada di Wakatobi
1. Tihe dan Ne'e
Tihe dan ne'e adalah dua jenis landak laut yang sangat populer di kalangan masyarakat Wakatobi. Tihe dan ne'e disebut juga bulu babi karena memiliki duri pada kulitnya yang dapat bergerak.
Biasanya masyarakat Wakatobi akan memakan tihe dan ne'e dalam keadaan mentah tanpa tambahan bumbu lainnya. Makanan ini menjadi pengganti lauk.
Tihe sendiri identik dengan bulu yang pendek dan berwarna merah atau putih dan hitam. Memiliki tekstur yang mirip telur ikan, lembut dan gurih ketika dimakan maka akan terasa lumer di mulut.
Sedangkan ne'e memiliki permukaan kulit yang dominan warna hitam dan memiliki duri yang panjang dan tajam.
Rasa dari ne'e tidak kalah enak dari tihe. Meski memiliki bentuk daging yang hampir mirip dengan tihe, akan tetapi ne'e tidak selumer tihe. Ne'e memiliki daging yang lebih padat sehingga memiliki keunikan teksur tersendiri.
Baca Juga: DPRD Sarankan Perubahan Nama Rumah Sakit Raha Gunakan Perbup
2. Fusese
Fusese adalah makanan mentah yang berasal dari rumput laut. Fusese juga lebih dikenal dengan sebutan anggur laut karena memiliki bentuk mirip anggur.
Berbeda dari tihe dan ne'e, fusese merupakan makanan pengganti sayur ala seafood, disajikan dalam keadaan mentah. Selain itu, fusese biasanya dilengkapi colo-colo.
Colo-colo dari fusese tergolong sederhana, hanya membutuhkan jeruk, cabai dan penyedap rasa.
3. Perangi
Perangi adalah makanan mentah yang berbahan dasar ikan mentah, kemudian ditambah cabai beserta penyedap rasa, dan tidak lupa perasan air jeruk nipis hingga daging ikan terlihat memucat.
Jenis ikan yang digunakan biasanya adalah ikan motembe atau yang lebih dikenal dengan sebutan ikan kakatua.
Alasannya menggunakan ikan kakatua karena dalam bahasa daerah ikan motembe memiliki makna ikan yang tawar.
Daging tebal dan putih serta rasa tawar inilah yang membuat ikan ini menjadi menu santapan yang tepat untuk perangi.
4. Firi dan Tihou
Masyarakat Wakatobi khususnya di Tomia menyebut teripang dengan sebutan firi, firi sendiri memiliki arti ingus.
Hewan satu ini memang kerap mengeluarkan lendir dari permukaan kulit dan isi perutnya ketika dijumpai di laut dangkal.
Hal ini yang menjadi latar belakang dari sebutan firi pada teripang. Berbeda dari nama yang terkesan memualkan, rasa dan manfaat dari teripang sangat banyak.
Baca Juga: Mobil Ertiga Ditumpangi Satu Keluarga, Terperosok di Bibir Jurang
Tihou adalah sejenis teripang yang hidup di dalam pasir sehingga lebih dikenal dengan nama teripang pasir.
Makanan seafood satu ini memiliki tekstur yang unik dan legit. Tihou akan dikonsumsi mentah hanya dengan cukup mengeluarkan isi perutnya lalu kemudian siap disantap.
Makanan memiliki pengolahan yang sama dengan perangi ini, hanya membutuhkan jeruk, cabai dan penyedap rasa untuk bisa mengonsumsinya.
5. Fangaro
Fangaro adalah kima. Makanan satu ini sangat gurih dan memiliki rasa yang khas. Bagi pecinta kerang yang satu ini tak segan melahap dagingnya tanpa campuran apa-apa.
Namun kebanyakan masyarakat akan menambahkan jeruk dan cabai, karena kandungan air asin yang banyak pada daging kima membuat kima ini tidak membutuhkan garam atau penyedap rasa.
Pada dasarnya semua jenis makanan mentah khas Wakatobi yang kaya akan protein ini akan dimakan dengan kasuami atau nasi. (B)
Reporter: Putri Wulandari
Editor: Haerani Hambali