Di Era Demokrasi Threshold Pemilu Harusnya Nol Persen dan Biaya Politik Nol Rupiah

Kardin, telisik indonesia
Jumat, 10 Desember 2021
0 dilihat
Di Era Demokrasi Threshold Pemilu Harusnya Nol Persen dan Biaya Politik Nol Rupiah
Ketum JMSI, Teguh Santosa (kiri) bersama Ketua KPK, Firli Bahuri saat berbincang. Foto: Ist.

" Untuk mendapatkan pemimpin berkualitas, seharusnya tidak ada lagi Pilkada, Pileg dan Pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal "

JAKARTA, TELISIK.ID - Dengan keterbukaan atau transparansi yang menjadi salah satu karakter utama sistem demokrasi, seharusnya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini tidak lagi terjadi. Atau setidaknya berkurang signifikan.

Di era non-demokrasi, pejabat publik dapat berbuat sekehandak hati mereka tanpa kontrol dari masyarakat. Abuse of power menjadi tradisi dan pada akhirnya membawa Indonesia ke dasar jurang krisis multidimensi di tahun 1998.  

Kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, demokrasi datang bagai cahaya matahari yang menyapu rumah yang sudah terlalu lama tertutup dan pengap. Kala pintu dan jendela rumah terbuka, cahaya matahari masuk, maka tikus dan kecoa akan keluar dari sarang dan persembunyiannya.

"Tikus dan kecoa tidak bisa hidup dalam ruangan terbuka, bersih, terang dan penuh cahaya. Itulah yang menjelaskan fenomena meningkatnya kasus korupsi pasca reformasi,” ujar Firli Bahuri dalam perbincangan terkait pelaksanaan Hari Korupsi Dunia (Hakordia) 2021 dengan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa, Kamis (9/12/2021) malam.

Dalam perbincangan di kediamannya di kawasan Galaxy, Bekasi Barat, Firli Bahuri menggunakan “kurva J” untuk menjelaskan perjalanan Indonesia dari era non-demokrasi yang serba tertutup ke arah demokrasi yang karakter utamanya adalah keterbukaan.

Dia melanjutkan, sudah 23 tahun Indonesia hidup di era demokrasi yang terbuka. Bila diandaikan sebagai rumah, Indonesia hari ini seharusnya sudah bersih, terang dan penuh cahaya, serta tidak ada lagi ruang kumuh yang tertutup sebagai tempat yang nyaman bagi tikus dan kecoa.

Jika korupsi masih banyak, maka hanya ada tiga kemungkinan penyebabnya. Pertama, masih ada masalah dalam regulasi. Kedua, ada masalah dalam pelembagaan demokrasi. Ketiga, budaya antikorupsi belum tumbuh subur dan mapan di tengah masyarakat kita.

Di sisi lain, transparansi dan keterbukaan di era demokrasi seharusnya juga berdampak pada kualitas pejabat publik. Sayangnya dalam praktik yang kerap terjadi, calon pejabat publik bukanlah seseorang yang memiliki kapasitas yang memadai karena merupakan hasil dari politik transaksional.

Untuk mendapatkan pemimpin berkualitas, seharusnya tidak ada lagi Pilkada, Pileg dan Pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal, sehingga pemimpin yang terpilih tidak tersandera kepentingan pihak lain.

"Selama ini (syarat untuk menjadi pejabat publik) harus ada popularitas, elektabilitas, kapasitas, lalu isi tas. Sekarang di balik. Isi tas duluan, baru yang lain-lain," ujarnya.

“Kita ingin Pilkada, Pileg, Pilpres, nol threshold-nya. Tidak boleh ada. Bukan hanya threshold yang nol persen, biaya politik juga harus nol rupiah," kata dia lagi.

Pada bagian lain, Firli Bahuri kembali mengingatkan, upaya memberantas korupsi di Tanah Air bagai orkestrasi yang melibatkan semua sistem.

Itulah sebabnya, laporan Firli Bahuri kepada Presiden Joko Widodo dalam rangka peringatan Hakordia 2021 di Gedung KPK yang diselenggarakan Kamis pagi (9/12/2021) diberi judul “Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi.”

"Kita bisa melepas jerat korupsi yang melilit negara dan bangsa ini dengan orkestra sistem integritas nasional. Kita bersatu padu membangun budaya anti korupsi," ujarnya sambil menambahkan bahwa okestrasi itu dipimpin oleh Presiden RI.

Dengan orkestrasi tersebut, sejatinya KPK tidak harus menjadi tukang cuci piring dari residu sistem. Atau, KPK tidak harus menjadi tukang tangkap yang seakan merampas kebebasan manusia. Juga tidak menjadi objek kemarahan keluarga tersangka korupsi yang menuduh KPK berbuat zalim.

Salah satu substansi revisi UU 30/2002 menjadi UU 19/2019 tentang KPK adalah penjelasan bahwa KPK bukan entitas di luar sistem. KPK akan bekerja sebagai bagian sistem dan di dalam sistem tata negara secara independen dan tanpa intervensi dari cabang kekuasaan apapun.

Lantas, presiden memegang peranan penting dalam pemberantasan korupsi karena alokasi wewenang dan anggaran terbesar republik ini menumpuk di tubuh eksekutif.

Dia mengingatkan adagium Lord Acton tentang hukum besi korupsi, di mana ada kewenangan dan uang di situlah ada potensi terjadinya korupsi. Adagium itu berbunyi, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.”

Untuk itu, sambungnya, KPK tidak mungkin bisa jauh dari presiden dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang dimandatkan oleh UU. KPK dan kabinet yang dipimpin presiden harus berjalan seirama, senafas, satu tindakan, dan satu padu dalam membangun strategi pemberantasan korupsi.

Baca Juga: KPK Kekurangan Pegawai, Firli Bahuri Mengadu ke Jokowi

Tugas KPK adalah memastikan anggaran yang dialokasikan presiden ke tiap institusi negara berdaya guna dan berhasil guna dalam mendorong perekonomian nasional dengan tidak ada satu rupiah pun yang dikorupsi oleh penyelenggara negara. Untuk itu koordinasi dan kerjasama antara KPK dan presiden dan dengan visi yang sama sangatlah penting untuk memimpin orkestra pemberantasan korupsi.

Dalam peringatan Hakordia 2021, Firli Bahuri juga memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai “Trisula Pemberantasan Korupsi” yang menjadi pemandu kerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

Trisula pertama adalah pendidikan dan peran serta masyarakat dalam membangun dan menanamkan nilai, karakter, budaya dan peradaban manusia Indonesia yang anti perilaku korup. Sasarannya adalah peningkatan integritas penyelenggara negara dan terwujudnya budaya antikorupsi.

Baca Juga: Jaga Rumah Warga di Pengungsian, Polda Jatim Terjunkan Ditsamapta ke Lumajang

Trisula kedua adalah pencegahan dan monitoring dengan fokus di hulu. Peran koordinasi dan supervisi sebagai amanat UU KPK akan digunakan sepenuhnya untuk masuk ke seluruh institusi negara yang memproduksi regulasi untuk menjamin tidak ada celah bagi perilaku korup dalam regulasi. (C)

Reporter: Kardin

Editor: Haerani Hambali 

Baca Juga