Diduga Selewengkan Dana Desa, Kades Lambusango Dipolisikan
Deni Djohan, telisik indonesia
Rabu, 27 Mei 2020
0 dilihat
Warga Lambusango, Erfin S.Pd bersama Wakil Ketua Dua Badan Permusyawartan Desa (BPD), Rahman. Keduanya menunjukan data atas dugaan kecurangan yang dilakukan Kades Lambusango, Azudin. Foto: Deni Djohan/Telisik
" Upah uang kami terima itu Rp 100 ribu satu hari. Selesai kegiatan itu kami tidak pernah bertandatangan di dokumen LPJ itu. Sesuai dengan pengalaman saya, meskipun kita bertandatangan menerima upah Rp 80 ribu perhari, namun tetap saja kita bertandatangan Rp 100 ribu pada laporan SPJ nya perhari. "
BUTON, TELISIK.ID - Salah satu warga desa Lambusango, Kecamatan Kapuntori, Kabupaten Buton, Erfin SP.d, melaporkan kepala desa (kades) setempat, Azudin, ke Polres atas dugaan penyelewengan pengelolaan anggaran dana desa (DD) tahun 2019 sebesar Rp 601.907.000. Selain Polres, Azudin juga dilaporkan di Inspektorat Pemda Buton.
Kepada awak media, Erfin mengaku, berdasarkan ketentuan Peraturan Bupati (Perbub) nomor 3 tahun 2019 tentang tatacara pengelolaan dana desa dibagi tiga tahap. Tahap pertama pencairan dilakukan sebesar 20 persen dari pagu anggaran. Sedang tahap ke dua dan ke tiga sebesar 40 persen.
"Tahap pertama ini telah dilaksanakan sesuai dengan item kegiatan dana bungdes. Untuk mencairkan anggaran tahap ke dua sudah tentu harus ada SPJ realisasi anggaran tahap pertama sekurang-kurangnya 75 persen dari hasil realisasi out put," ungkapnya.
Celakanya, lanjutnya, proses pencairan tahap ke dua ini dilakukan tanpa melalui proses musyawarah bersama perangkat desa dengan kata lain keputusan sepihak.
Selain itu, tambah Erfin, upah harian orang kerja (HOK ) yang tertuang dalam laporan pertanggungjawaban (LPJ) desa juga terkesan ditutup-tutupi. Buktinya, selama bekerja sebagai pekerja harian di situ, dirinya baru sekali bertandatangan pada dokumen berita acara. Padahal, pelaksanaan kegiatan dilakukan selama empat hari.
Baca juga: Begini Kronologi Siti Fadilah Ungkap Pandemi COVID-19 Ada Kejanggalan
"Upah uang kami terima itu Rp 100 ribu satu hari. Selesai kegiatan itu kami tidak pernah bertandatangan di dokumen LPJ itu. Sesuai dengan pengalaman saya, meskipun kita bertandatangan menerima upah Rp 80 ribu perhari, namun tetap saja kita bertandatangan Rp 100 ribu pada laporan SPJ nya perhari," ucapnya.
Berdasarkan data yang ia peroleh dari BPD, anggaran yang direalisasikan untuk pembayaran tenaga HOK sebesar Rp 40 juta. Padahal berdasarkan ketentuan pembayaran HOK, nilai HOK diambil dari 30 persen nilai anggaran. Artinya, pembayaran upah HOK sebesar Rp 180 juta bukan Rp 40 juta.
"Nah, sisa anggaran ini yang kami pertanyakan," tanyanya.
Lebih miris lagi ketika ia menemukan data dari BPD per 5 Mei 2019 sampai 20 September 2019 yang ditandatangi langsung BPK terkait pembayaran upah HOK senilai Rp 223.590.000. Dalam dokumen tersebut terdapat beberapa kegiatan dengan uraian item pembelanjaan diantaranya, belanja pemakaian exavator selama 15 hari. Belanja pemakaian solar 150 jergen. Pemakaian 50 mobil, belanja timbunan sebanyak 2026 ret, pemakaian Dozer 5 hari, pemakaian HOK sebanyak 400 orang. Padahal, kegiatan ini tidak pernah ada alias fiktif.
Baca juga: Eks Pasien COVID-19 Kluster GPIB Serahkan APD di RS Raha
Tak sampai di situ saja. Tindakan semena-mena kades juga terlihat pada realisasi kegiatan tahap tiga. Di situ, proses pencairan anggaran yang berdasar pada progres realisasi anggaran tahap dua juga dilakukan tanpa sepengetahuan perangkat desa. Hal ini ia ketahui berdasarkan keterangan dari para perangkat BPD.
"Di sini saya mulai curiga, kenapa kegiatan ini tidak diketahui BPD. Padahal setiap pencairan dan kegiatan desa itu harus sepengetahuan BPD. Sebab BPD ini pengawas langsung kegiatan di desa," ungkapnya.
Menanggapi itu, Wakil ketua dua BPD Desa Lambusango, Rahman, mengatakan, pernah ada konfirmasi yang dilakukan kades setempat, Azudi. Hanya saja konfirmasi tersebut berkaitan dengan kegiatan anggaran tahap dua.
"Yang jadi persoalan hari ini, yang tidak pernah dikonfirmasi adalah penggunaan dan peruntukan anggarannya yang tidak jelas," beber Rahman.
Sebagai wakil ketua dua, lanjutnya, ia pernah menanyakan hal ini langsung kepada, Azudi. Hanya saja, Azudi menjawab dengan kalimat tak wajar. Azudi meminta agar BPD terpilih tak usah mencampuri anggaran tahun 2019. Alasannya, para BPD terpilih belum dilantik secara resmi sebagai anggota BPD.
Baca juga: Dua Bulan Berjuang Melawan COVID-19 Perempuan di Kendari Sembuh di Hari Lebaran
"Yang jadi persoalan, kenapa kami disuruh tidak usah urus kegiatan itu sementara lembaga dan nama kami diseret di situ. Nah, ini yang jadi polemik menurut kami," ungkapnya.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, lanjutnya, tugas dan fungsi BPD adalah mengawasi kinerja kepala desa.
"Hanya sejak bulan 7 Hingga 12 kami ini tidak aktif penuh karena di tahun itu juga tidak ada kegiatan. Kegiatan yang ada itu hanya pembangunan sarana publik," tuturnya.
Menanggapi hal itu, Kades Lambusango, Azudin mengakui adanya laporan itu. Bahkan pihak kepolisian Polres Buton telah meminta dan memeriksa hasil laporan pertanggungjawaban atas pengelolaan anggaran Dana Desa tahun 2019 tersebut.
"Tinggal kita tunggu hasilnya. Kalau ada kekeliruan kita juga sudah siap untuk ditindaki," akunya.
Ia mengaku, peristiwa ini merupakan rentetan politik pada pilihan kepala desa lalu yang hingga kini terbawa. Sehingga kasus ini syarat akan tendensi politik. Pasalnya, sebelum kegiatan itu dilrealisasikan, Rencana Kerja Desa (RKD) terlebih dulu diperiksa oleh pihak Inspektorat, verifikasi kecamatan dan BPM.
Baca juga: 17 Anak di Bombana Sembuh dari Corona
"Sekarang orang gampang saja mencarikan kita kesalahan," terangnya.
Saat ditanya soal dugaan penyelewengan anggaran melalui via telponnya, pria bersuara serak ini sangat pelan dalam memberikan penjelasannya.
"Alhamdulilah, kami bekerja sama dengan TPK. Pun kalau memang terjadi kesalahan bukan hanya BPD saja yang melapor. Begitu diferivikasi kita punya laporan dan ada penyimpangan sudah pasti kita ditindaki. Pihak Inspektorat juga tidak mungkin membiarkan begitu saja temuan itu. Apalagi dana desa ini bukan hanya satu lembaga saja yang kawal. Tapi di dalam melibatkan aparat penegak hukum," jelasnya.
Ia juga membantah, jika dirinya tak melibatkan BPD dalam pembangunan dan pengelolaan Dana Desa di desa pemilik hutan pusat paru-paru dunia itu meski ketika itu anggota BPD tengah dalam masa peralihan dari anggota lama ke anggota yang baru terpilih.
"Kalau teman-teman yang yang notabenenya lawan politik kemarin yang melaporkan hal ini, itu wajar. Tapi semua itu tergantung lagi dengan pelaporannya," santainya.
Baca juga: Indonesia Menuju New Normal, PPP Minta Masjid Ikut Dibuka
Lebih jauh dikatakan, berkaitan dengan pembayaran upah HOK sesuai dengan Perbub adalah Rp 80 ribu perhari untuk setiap orang. Namun dalam rapat musyawarah bersama masyarakat, upah HOK dinaikkan menjadi Rp 100 ribu. Untuk menutupi kekurangan Rp 20 ribu itu, pihaknya memutuskan untuk menambah jumlah hari kerja dalam LPJ.
"Jadi kalau pekerjaan 4 hari, harus 5 hari laporannya. Ini untuk menutupi yang Rp 20 ribu tadi. Apalagi tidak ada yang mau masyarakat dibayar 80 ribu perhari," bebernya.
Ia mengaku resah dan tidak terima dengan adanya laporan tersebut. Bahkan ia mengancam akan melapor balik para pelapor apabila laporan tersebut tidak terbukti.
"Artinya kita juga ini merasa berat karena hanya satu orang kita ini diobok-obok. Makanya camat dengan Kapolsek sempat marah dengan persoalan ini. Karena kegiatan ini tidak asal kerja saja. Kita juga koordinasi dengan pihak kecamatan dan kepolisian," pungkasnya.
Reporter: Deni Djohan
Editor: Sumarlin