Hugua Sebut RUU Omnibus Law Ancam Keragaman Hayati
Kardin, telisik indonesia
Jumat, 22 Mei 2020
0 dilihat
Ir Hugua. Foto: Ist.
" Inti dari Omnibus Law adalah menyederhanakan banyak undang-undang, oleh karena itu di dalamnya memiliki spirit simplifikasi, pemangkasan hukum dan kemudahan-kemudahan untuk mengekstraksi sumber daya alam menjadi sumber daya ekonomi. "
KENDARI, TELISIK.ID - Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati sektor kelautan yang tinggi. Indonesia juga memiliki kawasan yang disebut The Coral Triangle yang kaya dengan keanekaragaman hayati.
Namun, kekayaan ini dinilai mengalami keterancaman seiring dengan rencana pemerintah menerapkan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang rancangannya kini tengah dibahas di DPR RI.
Atas dasar itu, organisasi internasional Maritim Local Government Network (LGN) mengadakan Webinar yang bertajuk "RUU Omnibus Law: Peluang dan Tantangan Pada Sektor Perikanan" pada Rabu, 20 Mei 2020. Seminar online ini diadakan guna memberikan sumbang saran kepada pemerintah dan DPR terkait masalah kelautan dan perikanan pada RUU Omnibus Law.
Ketua Maritime Local Government Network, Hugua mengatakan yang menjadi konsen Maritim LGN adalah konservasi, perlindungan dan sustainable atau keberlanjutan sumber daya pesisir dan kelautan.
Baca juga: Kasus Positif COVID-19 di Kolaka Utara Bertambah Tiga Kasus
"Inti dari Omnibus Law adalah menyederhanakan banyak undang-undang, oleh karena itu di dalamnya memiliki spirit simplifikasi, pemangkasan hukum dan kemudahan-kemudahan untuk mengekstraksi sumber daya alam menjadi sumber daya ekonomi," papar Hugua.
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan ini mengakui, di satu sisi RUU Omnibus Law itu baik, tapi di sisi lain berpotensi menimbulkan masalah, misalnya tidak ada lagi definisi nelayan kecil dan nelayan besar, artinya tidak ada perlindungan hukum bagi orang-orang yang lemah.
Selanjutnya masalah kewenangan daerah, berdasarkan RUU Omnibus Law, daerah tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengoptimalkan sumber daya kelautan, semuanya ditarik ke pusat. Selain itu, ada penghapusan sanksi pidana dan perdata menjadi sanksi administrasi dan ada ancaman terhadap ekosistem bahari dalam RUU Omnibus Law.
Baca juga: Lebaran, Buruh Pelabuhan tak Pikul Barang Malah Pukul Jidat
"Oleh karena itu ancaman keanekaragaman hayati pasti sangat tinggi dengan UU Omnibus Law ini, juga dapat menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan pemda (gubernur dan bupati) karena semua kewenangan ditarik ke pusat. Keadaan akan semakin parah karena dengan resentralisasi maka pemda bersikap masa bodoh terhadap kerusakan lingkungan di daerah karena menjadi wewenang pusat. Di pihak lain pemerintah pusat mempunyai keterbatasan khususnya tenaga dalam kegiatan konservasi dan perlindungan sumber daya pesisir dan kelautan," tegas Hugua.
Lebih lanjut Hugua menambahkan bahwa, pasti akan terjadi ketegangan antara nelayan kecil dan nelayan besar karena tidak ada perlindungan bagi nelayan-nelayan kecil.
Masalah-masalah tersebut juga diamini oleh para narasumber dalam Webinar, salah satunya dari Independent Consultants for Coastal Managament at World Bank Jakarta, Dr Abdul Halim yang mengatakan bahwa, nelayan kecil merupakan subjek yang sangat penting namun tidak bahas dengan baik dan benar.
Baca juga: 30 Perawat RS Bahteramas tak Bisa Lebaran Bersama Keluarga
"Hal ini terbukti, definisi nelayan kecil dalam RUU Omnibus Law menjadi kabur, tidak ada satu atribut pun yang dipakai yang bisa memandu pelaksanaan di lapangan untuk menentukan nelayan kecil ini sebenarnya siapa, dalam RUU Omnibus Law nelayan kecil disuruh tarung bebas dengan nelayan besar, hal ini sangat amat tidak adil," ungkap Abdul Halim.
Selanjutnya Dewan Profesi dan Pakar Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia, Prof La Ode M Aslan mengatakan, dalam rancangan Omnibus Law peran daerah sangat minim, spirit orde reformasi atau otonomi daerah semakin berkurang. Selain itu, ada peluang UU tersebut akan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu, khususnya pebisnis, serta penerapan sanksi yang hanya bersifat administratif.
"Melalui RUU Omnibus Law ini saya melihat ini bukan cipta lapangan kerja melainkan cipta investasi besar-besaran dan ini sangat memarginalkan nelayan kecil," kata Prof Aslan.
Baca juga: Pilkada Bergeser, PKS Fokus Bawa Misi Ta'awun Saat Pandemi
Seharusnya, lanjut Prof Aslan, Omnibus Law menjadi motor penggerak cipta lapangan kerja, peningkatan pendapatan, mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta pengembangan kawasan.
Lebih lanjut narasumber dari Biro Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan, Husni Mubarak menjelaskan, secara normatif tentang urgensi RUU Omnibus Law Cipta Kerja dalam sektor kelautan dan perikanan.
Husni Mubarak mengungkapkan tidak semua materi Omnibus Law akan mencabut materi empat Undang-Undang, seperti Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang Pesisir, Undang-Undang 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Undang-Undang Kelautan.
Baca juga: Orang Akan Disiplin Kalau Kebutuhannya Dijamin
Namun begitu, Husni Mubarak mengakui terdapat tantangan dalam Omnibus Law seperti keberlanjutan wilayah pesisir laut, definisi nelayan kecil yang tidak ada pembedaan ukuran kapal dengan nelayan besar, kemudian resentralisasi atau kewenangan bupati dan gubernur yang ditarik kembali ke pemerintah pusat, namun Husni mengingatkan bahwa masih ada Peraturan Pemerintah yang dapat memberikan kewenangan pusat ke daerah.
"Jadi Omnibus law tidak serta merta menghapus Undang-Undang yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan lainya," terangnya.
Selain beberapa narasumber tersebut, Webinar itu juga menghadirkan beberapa Pembahas diantaranya: Bupati Sangihe, Jabes Ezar Gaghana; Kepala Pusat Fasilitasi Kerjasama Setjen Kemendagri, Nelson Simanjuntak; Ketua Forum Kahedupa Toudani (Forkani), La Beloro; dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, Askabul Kijo. Webinar Maritim LGN ini di moderatori oleh WWF Coral Triangle Program, Veda Santiaji.
Reporter: Kardin
Editor: Sumarlin