Hukum Asuransi dalam Islam, Pendapat Ahli Fikih dan Fatwa MUI
Haerani Hambali, telisik indonesia
Sabtu, 11 Desember 2021
0 dilihat
Hukum asuransi dalam Islam, ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Foto: Repro pecihitam.org
" Tidak sedikit orang yang mempertanyakan hukum asuransi dalam Islam "
KENDARI, TELISIK.ID - Tidak sedikit orang yang mempertanyakan tentang hukum asuransi dalam Islam. Karena ada sebagian yang memperbolehkan dan ada juga yang tidak memperbolehkan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Pandangan Ahli Fikih Mengenai Hukum Asuransi
Dikutip dari islam.nu.or.id, setiap perusahaan asuransi biasanya menerapkan persyaratan tertentu agar nantinya para peserta bisa mendapatkan santunan. Dari persyaratan-persyaratan tersebut, maka bisa disimpulkan “ telah terjadi risiko yang dialami oleh anggota dan risiko ini disesuaikan dengan risiko yang digariskan oleh perusahaan asuransi.”
Misalnya saja jika asuransi kecelakaan, maka risiko tersebut adalah kecelakaan. Dengan melihat risiko yang terjadi itulah, para ahli fikih memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang hukum asuransi dalam Islam.
Ada ahli fikih yang mengatakan bahwa asuransi haram atau tidak diperbolehkan. Dan ada juga ahli fikih yang membolehkannya.
Ahli Fikih yang Memandang Asuransi Haram
Ahli fikih yang memandang bahwa hukum asuransi dalam Islam haram, hal ini berlaku untuk premi atau iuran yang berubah status kepemilikannya sebagai milik perusahaan. Inilah beberapa alasan para ahli fikih yang mengharamkannya:
1. Transaksi penyerahan premi atau iuran yang terjadi masuk dalam golongan transaksi judi (maisir).
2. Dalam transaksi tersebut terdapat adanya keterlibatan pemberian uang dengan kembalian yang lebih dari pokok harta yang diutangkan (riba). Dalam Islam, riba sendiri adalah hal yang diharamkan atau dilarang untuk melakukannya.
3. Akad yang tidak jelas antara transaksi penyerahan premi atau iuran dan mengutangi. Lalu adanya ketidakjelasan apakah bisa kembali atau tidak premi yang sudah pernah dibayarkan. Hal ini memunculkan adanya unsur gharar. Gharar sendiri adalah ketidakpastian dalam sebuah transaksi yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya ketentuan syariah dalam transaksi tersebut.
4. Harta tidak bisa kembali, kecuali jika risiko tersebut sudah terpenuhi.
Ahli Fikih yang Membolehkan Asuransi
Lalu untuk para ahli fikih yang memandang bahwa hukum asuransi dalam Islam diperbolehkan dengan premi atau iuran yang jadi milik perusahaan dengan alasan berikut ini:
1. Terdapat undang-undang yang menjamin dan sifatnya adalah mengikat pada asuransi tersebut.
2. Penyerahannya terjadi dikarenakan adanya unsur saling rida di antara anggota dan perusahaan asuransi.
3. Asuransi dianalogikan (qiyas) sebagai suatu akad bagi hasil.
4. Dengan bergabung menjadi anggota asuransi sudah diniatkan sejak awal untuk kemungkinan jika terjadinya pertanggungan yang diakibatkan oleh suatu kejadian yang tidak terduga atau di luar prediksi. Adanya kafil dari pihak asuransi bertugas untuk menjamin semua tanggungan yang mungkin saja tidak bisa diselesaikan akibat terjadinya kemungkinan tersebut.
Baca Juga: Dalil-Dalil yang Membenarkan Adanya Siksa Kubur
Itulah beberapa pendapat para ahli fikih terkait hukum asuransi dalam Islam antara yang memperbolehkan dan mengharamkannya.
Terlepas dari itu, tak sedikit orang sekarang tengah melirik manfaat asuransi syariah yang ada di Tanah Air.
Namun sepak terjang asuransi syariah kadang masih menjadi perbincangan. Dari soal untung dan ruginya, dalil religi hingga masalah halal-haram. Hal-hal tersebut menjadi dasar pertimbangan bagi masyarakat ingin menikmati manfaat asuransi syariah yang ada di pasaran.
Apa itu asuransi syariah?
Pada dasarnya yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional adalah prinsip yang digunakan. Prinsip asuransi syariah terdapat tolong-menolong, misalnya bila terjadi suatu risiko terhadap nasabah, santunan yang dibayarkan adalah berupa dana Tabarru’ atau yang juga dikenal dengan sebutan risk sharing dalam dunia asuransi.
Asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah juga memiliki perbedaan dengan asuransi konvensional, seperti dalam hal masa kontrak, pengelolaan dana asuransi, pengawasan, dan kepemilikan dana.
Asuransi konvensional biasanya cenderung memiliki peraturan yang menguntungkan perusahaan mengingat dalam jenis asuransi ini tentu saja tujuan perusahaan adalah mencari profit.
Dalam asuransi jiwa syariah, perusahaan menjamin bahwa dana dari nasabah tidak akan digunakan untuk membiayai atau berinvestasi di bidang yang bertentangan dengan syariat, seperti produk tembakau untuk rokok dan minuman keras.
Prinsip asuransi syariah secara umum menaruh perhatian khusus pada para pelanggannya untuk bisa bersatu dalam tolong-menolong. Prinsip ini juga sekaligus diharapkan akan membentuk rasa kasih sayang dan kekeluargaan yang kuat berkat usaha saling bantu sesama nasabah asuransi.
Dasar Hukum Asuransi Syariah
Meski cukup banyak diminati dan didukung penuh oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya, hukum dasar asuransi syariah tetap dipertanyakan. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap asuransi berdasarkan hukum asuransi syariah belum sepenuhnya halal.
Pemerintah bersama lembaga keuangan terkait, terutama yang berbasis syariah dan MUI terus mengedukasi masyarakat tentang jenis dan manfaat asuransi ini.
Dasar hukum di dalam Al Quran
Asuransi syariah memiliki dasar-dasar yang juga ada dalam hadis dan ayat dalam Al Qur'an, yaitu:
Al Maidah 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
An Nisaa 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap mereka.”
HR Muslim dari Abu Hurairah: “Barang siapa melepaskan dari seorang Muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat.”
Baca Juga: Amalkan 1 Kalimat Ini, Apapun Dosanya Insya Allah Diampuni
Dasar hukum menurut fatwa MUI
Pada dasarnya, asuransi syariah justru hadir sebagai solusi dari anggapan bahwa esensi asuransi bertentangan dengan syariat agama dan prinsip-prinsip di dalam agama itu sendiri.
Itu sebabnya mulai 2001, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa asuransi syariah secara sah diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Beberapa fatwa MUI yang mempertegas kehalalan asuransi syariah adalah, dilansir Jasindosyariah.co.id:
Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah.
Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah.
Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah. (C)
Reporter: Haerani Hambali
Editor: Fitrah Nugraha