Tiga Tokoh 80-an di Reo Akui Tanah Nanga Banda Milik Pemerintah

Berto Davids, telisik indonesia
Senin, 18 Juli 2022
0 dilihat
Tiga Tokoh 80-an di Reo Akui Tanah Nanga Banda Milik Pemerintah
Tanah Nanga Banda yang berlokasi di Kelurahan Reo, Kecamatan Reok, Manggarai, NTT sekarang diklaim oleh pemda dan warga yang mengaku keturunan Raja Bima dan Gowa. Foto: Berto Davids/Telisik

" Tiga tokoh 80-an di Kecamatan Reok, Manggarai, NTT termasuk bagian dari orang yang mengaku bahwa kedudukan tanah Nanga Banda yang sebenarnya adalah milik pemerintah "

MANGGARAI, TELISIK.ID - Tiga tokoh 80-an di Kecamatan Reok, Manggarai, NTT termasuk bagian dari orang yang mengaku bahwa kedudukan tanah Nanga Banda yang sebenarnya adalah milik pemerintah.

Meski tidak menjadi bagian dari proses legalisasi. Namun para tokoh tersebut yakin bahwa tanah Nanga Banda sudah menjadi milik pemerintah setempat pasca ditinggalkan para penjajah.

Husen Algadri misalnya, tokoh 83 tahun itu menjelaskan bahwa pasca kemerdekaan pemerintah setempat sudah mengakui bahwa tanah tersebut merupakan lahan bebas yang pernah jadi landasan pesawat perang para penjajah. Artinya lahan tersebut tidak diklaim atau dimiliki oleh siapapun selain para penjajah dulu.

Bahkan, sejak menjadi anggota DPRD Kabupaten Manggarai dua periode pihaknya bersama pemda sudah pernah membahas tentang kepemilikan tanah Nanga Banda yang ditinggal begitu saja oleh penjajah.

Saat itu semua sudah mengakui aset yang ditinggalkan penjajah pasca kemerdekaan kembali jadi milik indonesia.

"Dulu sejak saya jadi anggota DPRD tahun 1982 sampai 1987 dan berlanjut lagi ke 1992 kami pernah bahas tentang itu. Hanya saya tidak tahu bagaimana proses selanjutnya" kata Husen ditemui di kediamannya, Senin (18/7/2022).

"Saya hanya bisa menjelaskan dari sisi mantan anggota DPRD karena tahun 1982-1987-1992 kami pernah bahas tentang tanah Nanga Banda. Tapi kalau sekarang ada yang mengklaim tanah itu dari raja atau naib dulu yah itu kan mungkin peninggalan saja, karena saya juga belum ada disini waktu itu" katanya lagi.

Husen mengaku bahwa ia baru menginjakan kaki di Reo pada tahun 1951. Setelah beberapa tahun di Reo ia sendiri pernah melihat tanah Nanga Banda itu menjadi tempat leanding Helikopter. Bahkan dulu ada 27 Helikopter turun di Nanga Banda

"Kita semua disuruh menghindar jauh karena Helikopter mau leanding di Nanga Banda. Waktu itu seingat saya tanah tempat leanding Helikopter itu panjang sampai ke BGR dan Kedutu. Luas sekali tanahnya" ucap Husen mengulang ingatan masa lalunya.

Kemudian seiring berjalannya waktu muncul wacana pembentukan kabupaten, namanya Manggarai.

"Setelah Kabupaten Manggarai dibentuk kita sudah terlihat makin maju dan saya mulai berkiprah di partai Golkar tahun 1965, lalu menjadi kader aktif sebelum pada akhirnya saya ditunjuk jadi anggota DPR tahun 1982 bersama Almarhum Bapak Kornelis Karpus" tutur Husen.

"Jadi kalau berbicara sejarah raja gowa atau raja bima saya kurang tau. Mereka yang mengklaim tanah mungkin yang lebih tahu dan saya tidak mungkin bicara itu takut jadinya tidak enak satu sama lain. Setahu saya waktu Kabupaten Manggarai ini dibentuk kami tidak bicara lagi tentang raja atau aset-asetnya. Semuanya itu sudah jadi milik pemerintah" tuturnya menambahkan.

Saking yakinnya dengan tanah milik pemerintah, Husen pun pernah menolak ajakan salah satu tokoh dulu yang mengajak untuk mengklaim tanah itu karena memang setelah dibahas tanah tersebut lepas kosong. Yang ada hanya bekas landasan Pesawat dan Helikopter.

"Pada waktu itu saya tolak karena saya tahu memang pemerintah punya. Apalagi dalam islam melarang mengklaim yang bukan milik kita" ujar pria kelahiran 1939 ini.

Tidak jauh dari Husen, salah satu Tokoh Senior di Reo, Yakob Abas juga mengakui kedudukan tanah Nanga Banda sebagai tanah milik pemerintah.

Sebab, tanah tersebut merupakan bekas lapangan udara buatan Belanda.

"Bagaimana pun saya dukung pemerintah agar tanah itu menjadi aset negara. Tidak ada satu orang pun yang mengklaimnya. Untuk mereka yang mau coba ambil alih saya berdiri bersama pemerintah" tegas Yakob.

Terkait penguasaan Kesultanan Raja, ia tidak menampik bahwa memang ada yang menguasai pada abad ke 17 tetapi itu semua sudah dihapus.

"Memang raja bima pernah menguasai Manggarai tapi itu sudah selesai. Selanjutnya ada Abdulah Daeng Mananja dan Marola" tutur Yakob.

Tokoh berusia 85 tahun ini mengisahkan, sebelum terjadi penjajahan oleh Belanda dan Jepang, Reo konon menjadi rebutan penguasa Makassar dan Bima.

Menurutnya, sebelum kolonial datang setidaknya Kesultanan Bima sudah lama bercokol di tanah Reo mulai abad ke-17. Adapun kakek Arifin menjadi pengawal sultan terakhir yang berkuasa setelah sekitar tahun 1930.

“Karena saya ini lahir pada tahun 1937, saya tahu persis bahwa sebelum Belanda Jepang dan China rebut kita punya wilayah ini yang pertama itu Makassar dengan Bima yang rebut sehingga tanah-tanah yang ada di sekitar ini dinamakan sawah misalnya yang perlu pak tahu 150 hektar termasuk di bawah Arifin itu. 150 hektar nama semua dari bahasa Bima yang ada nama lain hanya Poco Koe 9 hektar itu terjadi pada waktu Sultan terakhir Sultan Bima namanya Ibrahim,” kata Yakob Abas.

Baca Juga: Tingkatkan Ketahan Pangan, Pemkab Buton Tengah Siapkan Dua Hektar Lahan untuk Petani

"Tidak salah juga kalau Arifin klaim karena memang dia salah satu keturunannya, apalagi Bapa nya pernah Kepala Desa. Akan tetapi itu semua sudah tidak ada lagi pasca kita sudah terbentuk jadi Kabupaten. Setuju kalau Pemerintah ambil alih yang bekas dikuasai penjajah" kata Yakob mengakhiri.

Sementara itu salah satu tokoh paling senior di Kecamatan Reo, Hubertus Kari Huwa mengakui tanah Nanga Banda yang berlokasi di Kelurahan Reo merupakan tanah milik Pemerintah setempat.

Sebab, tanah yang sedang diklaim oleh beberapa oknum itu merupakan tanah bekas penjajahan Belanda yang harus kembali jadi milik Indonesia pasca semua rakyat keluar dari sakitnya penjajahan.

Tokoh 86 tahun itu mengaku bahwa ia salah satu warga negara indonesia yang pernah merasakan sengsaranya zaman penjajahan Belanda dulu, sehingga ia sangat setuju jika tanah ini kembali jadi milik Indonesia.

Waktu itu tanah Nanga Banda masih menjadi landasan udara tempat mendaratnya pesawat perang Belanda dan saat itu ia masih menempuh pendidikan di lembaga yang disebut Sekolah Rakyat (SR).

"Saat belanda masuk kesini mereka langsung berdiri di tanah nanga banda lalu berjalan keliling nuca lale untuk mencari rempah-rempah dan perlu diingat penjajahan belanda itu pun sudah ada sebelum saya lahir" terang pria yang sehari-sehari disapa dengan sebutan opa umbek ini.

Ia rupanya tidak menampik keberadaan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima pada masa penjajahan Belanda.

Adapun Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima datang untuk menyebarkan agama islam, mencari rempah, menagi upeti serta menjajah orang manggarai.

Dulu waktu Kesultanan Gowa datang, kisahnya dia, tempat pintu masuknya ada di Pantai Jengkalang, Pantai Nanga Banda, Kota Reo yang sekarang disebut Desa Salama, bahkan ada yang sampai ke Pota.

Kesultanan itu pun lebih banyak masuknya lewat pantai pakai kapal. Terus terjadilah hubungan kawin mawin antara Gowa dan Bima.

Waktu itu anak laki-laki Sultan Gowa menikah dengan anak perempuan Sultan Bima dan bawa belis emas satu karung tetapi Sultan Bima tolak karena mereka hanya menginginkan Nuca Lale (sekarang Manggarai)

"Memang dulu mereka tinggal lama di reo tetapi di dekat pantai, tepatnya di mangge balu, sehingga sampai sekarang kuburan itu disebut sebagai kuburan mangge balu karena ada yang meninggal" kisah Huber.

Kemudian terkait tanah yang menjadi landasan pesawat perang Belanda, versi Huber menjelaskan tanah Nanga Banda itu dijadikan landasan pesawat Belanda dari batas timur kuburan muslim dan batas baratnya jauh sampai BGR dan Kedutu.

Lalu utara kebawahnya ia tidak ingat persis, tetapi memang ada kuburan Mangge Balu sebagai tempat yang punya sejarah dulu.

"Kalau ada saudara-saudara saya yang klaim dibawa mangge balu mungkin satu sisi saya setuju. Tetapi untuk seluruhnya itu merupakan tanah bekas belanda, bukan kesultanan punya" ungkap pria yang saat ini memiliki 11 orang anak itu.

Baca Juga: Investor Lirik Muna Barat Bangun Pabrik Tepung Tapioka

Pasca kemerdekaan 1945 atau pasca Belanda pulang dari Indonesia ia tidak melihat seorang pun yang mengklaim tanah itu, termasuk batas timur dan barat.

"Waktu itu tanahnya lepas kosong bebas dan tidak ada seorang pun yang kasih tanda itu tanah dengan tanam pohon atau apa ke sebagai bentuk pengklaiman. Baru pada tahun-tahun kemarin ada pihak yang datang mengklaim" tutur Huber.

Ia menambahkan, dulu memang ada tanah yang dipagar dan setelah itu tanah tersebut dijual oleh Mori Reok ke Pater Stanis Wiparlo untuk pemukiman penduduk yang selanjutnya disebut Kampung Nanga Banda.

"Jadi itu sejarah yang saya tahu dan saya lihat, bukan sejarah atas cerita kakek atau nenek. Saya ini bekas orang yang dijajah belanda dulu, termasuk bekas orang yang sekolah di lembaga belanda" ngaku mantan pemain terbaik Persim Manggarai ini.

Bahkan, ia mengaku Belanda datang ke Nuca Lale dulu bukan saja untuk menjajah tetapi punya jasa besar termasuk membuka jalan Ruteng - Reo dan membangun sekolah-sekolah.

"Selain menjajah, belanda juga punya jasa besar untuk kita yah. Tapi sekarang mereka sudah pulang maka aset yang ditinggalkan menjadi milik kita lagi" tutup Huber. (A)

Penulis: Berto Davids

Editor: Musdar

Baca Juga